Matahari senja hampir terbenam diufuk barat.
Langit mulai mengisahkan jingganya yang muram di cakrawala. Jika jingga yang
muram adalah perumpamaan, hati Hafidz juga sedang muram.
Hafidz, anak ke dua dari tiga
bersaudara. Ayahnya telah meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan. Ia
adalah seorang remaja yang masih duduk dibangku kelas dua Muallimien. Ia adalah seorang
yang pendiam, namun selalu mempunyai ide yang brilian. Disekolah, ia menjabat
sebagai wakil ketua, dan di kampungnya ia diangkat sebagai ketua remaja mesjid.
Sore itu... Hafidz sedang asyik
mengajarkan adik tentang agama, sementara ibu dan kakak sedang asyik berbincang
di ruang keluarga.
"Hafidz..
Sini naaakk" panggil ibu
"Iyaaa,
buu.." sahut Hafidz sambil segera bergegas menghampiri ibu
"Ada
apa, bu?" tanya hafidz
"Sini
nak, duduk didekat ibu.. Ibu mau bicara"
Hafidz
pun segera menuruti kemauan ibu.
"Naaak...
Tak lama lagi kamu akan naik kelas, usiamu kini bukan lagi anak-anak, bukan
juga seorang dewasa. Kamu adalah seorang pemuda, namun kamu harus berfikiran
dewasa..." kata ibu sambil mengelus rambutnya.
"Ibu
mau agar kamu bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, seperti
kakakmu.. meski suatu saat nanti ibu tidak akan membersamaimu. Apa kamu mau
sekolah tinggi seperti kakakmu?" sambung ibu
"Hafidz
mau buu..sangat mau, mau sekolah tinggi seperti kakak" jawabnya dengan
penuh semangat
"Jika
kamu mau, kamu nanti akan ambil jurusan apa, nak?" tanya ibu
"Emm...
Hafidz ingin mengambil jurusan tafsir qur'an buuu.. Hafidz ingin mendalami itu,
supaya nanti Hafidz mampu menebar kebermanfaatan bagi orang banyak dengan ilmu
tersebut bu... Di zaman yang sekarang ini, Hafidz rasa jarang sekali orang yang
peduli terhadap ilmu tersebut kalau bukan ulama, ustadz dan ustadzah, itu pun
sudah semakin langka.." jelas Hafidz
"Keinginanmu
sungguh mulia, nak.. Ibu doakan, semoga apa yang kamu cita-cita kan untuk
menebar kebermanfaatan selalu diistiqomahkan oleh Allah"
"Aamiin,."
Hafidz dan kakak mengaminkan
"Yasudah..
Bu, Fidz... Kakak masuk dulu ya, sambil mau liat adik, sepertinya dia sudah
tidur" ucap kakak pamit sembari meninggalkan ibu dan Hafidz
Malam
semakin pekat, ibu dan Hafidz masih duduk diruangan itu, kali ini Hafidz
membuka pembicaraan
"Buu...
Boleh Hafidz bertanya?"
"Silahkan,
nak.. Memangnya kamu mau tanya apa?" jawab ibu mempersilahkan
"Bu..
Hafidz bingung, bagaimana caranya Hafidz mempertahankan para kader remaja
mesjid kampung kita.. Akhir-akhir ini, kegiatan tersendat karena perlahan minat
mereka untuk bergabung dalam organisasi ini semakin berkurang.. Hafidz sedih
bu, melihat remaja sekarang lebih tergiur dengan budaya barat, mulai dari
penampilan, sikap, sifat serta kebiasaan mereka.
Buu..
Apakah ketika ibu kecil, ibu pernah merasakan apa yang saat ini Hafidz rasakan?"
"Tentu,
nak.. Ibu pernah mengalami,namun.. Ibu rasa tantangan ibu dulu tidak seberat
seperti yang kamu tanggung sekarang. Dulu ibu sangat aktif dalam berorganisasi,
seperti kamu sekarang ini, tapi yang ibu tahu, dulu tidaklah sesulit itu
mengajak masyarakat terutama para remaja. Yang ibu tahu, dulu masyarakat disini
selalu haus akan ilmu, apalagi ilmu agama. Mungkin karena beda zaman,
masyarakat kini semakin acuh dan enggan memperdalami lagi ilmu agaman.
Tapi,
kamu jangan pernah menyerah. Inilah tantangan zaman yang harus dihadapi.
Ingatlah kemauan terbesarmu, yaitu menebar kebermanfaatan, dan jangan lupa,
selalu libatkan Allah dalam segala hal" jelas ibu
"Baik
bu.. Hafidz tidak akan menyerah"
"Yasudah..
Ini sudah malam, besok kamu sekolah.. Yuk sekarang kita istirahat..." ajak
ibu
"Baik
buuu..."
***
"Buu...
Hafidz berangkat dulu yaa.."
"Iyaaa,
hati-hati di jalan..."
Hafidz
pun bergegas pamit usai mencium tangan "Assalamualaikum, bu.."
"Waalaikumsalam"
jawab ibu
Diperjalanan
menuju sekolah, Hafidz bertemu dengan anshor, teman sekolahnya
"Assalamualaikum,
Fidz..." sapa Ansor
"Ehh..
Waalaikumsalam, Ansor.. Kebetulan ketemu disini, ada yang mau aku
bicarakan" sahut Hafidz
"Ada
apa, Fidz.. Sepertinya serius?"
"Iyaa,
An... Saya bingung dengan pergaulan remaja zaman sekarang, apalagi dikampung
kita sekarang ini.." jelas Hafidz
"Iyaah,
Fidz saya pun akhir-akhir ini terbebankan dengan pemikiran itu, kita telah
sama-sama mendirikan sebuah organisasi dengan susah payah, tapi merobohkannya
begitu mudah" jawabnya putus asa
"Emm...
Bagaimana kalau kita adakan acara, tabligh akbar misalnya.. Mudah-mudahan
dengan itu mereka semakin semangat, bagaimana?" sambung Ansor memberikan
usul
"Ahhh..
Rasanya aku tidak yakin, An... Pengajian rutin bulanan saja jarang sekali
mereka hadiri. Tapi yaa memang sih itu ide yang bagus, tapi semangat mereka
hanya sampai tabligh akbar itu, selebihnya... Entahlah aku tidak begitu
yakin" ujarnya
"Iyaa
juga, ya... Kan yang sudah-sudah juga seperti itu, ya?" sambut Ansor
sambil kembali memikirkan cara lain
"Ahh
yasudah, nanti kita obrolkan ini sepulang sekolah" usul Hafidz
"Baiklah
jika begitu, sampai jumpa sepulang sekolah" jawab Anshor
***
Setibanya
disekolah, mereka berpisah disudut lorong...
.
Tibalah
saatnya jam istirahat, Hafidz menemui Ansor di kantin
"Assalamualaikum..
Ansor"
"Ehh
Fidz, waalaikum salam, ada apa, Fidz?"
"Emm..
Ini, Sor saya mau diskusiin masalah yang tadi kita bahas dijalan, soalnya nanti
sepulang sekolah harus segera pulang, tadi kak Salman bilang ibuku sakit.."
"Ohh..
Baiklah kalau mau omongin itu sekarang, jadi, kita mau mulai dari mana? Ucap
Ansor
"Langsung
aja keintinya.. Kamu punya ide apa?" jawab ansor
"Emm..
Bagaimana kalau kita bicarakan hal ini sama pak ustad, nanti sore kan bakal ada
kajian" usul Ansor
"Ahiyaa..
Ide yang bagus, baik nanti kita ketemu diasana"
"Okeh"
***
Sesudah
kajian meereka membahas permasalahan
“Pak
ustad, bagaimana ini, para remaja semakin enggan untuk kembali bergabung dalam
organisasi, sedang saya, disekolah saya dituntut untuk tetap mempertahankan
organisasi ini.”
“Fidz,
jika kamu menuntut semua itu hanya untuk nilai sekolahmu, kamu akan semakin
sulit, ini adalah tantangan zaman bagi kalian, zaman yang kalian tanggung saat
ini dan kedepannya akan semakin berat, maka laksanakanlah semua ini karena
Allah niscaya Allah akan sesegera mungkin menolongmu. Tetaplah berjuang walau
sulit. Jangan pernah menyerah, karena ini adalah tantanngan zaman bagi seorang
santri dan remaja lainnya.” Nasehat ustad
Tiba-tiba
disela perbincangan, kak Salman, kakak Hfidz menelpon
"Assalamualaikum…
Fidz.. kamu sedang dimana?" Tanya kak Salman
“Waalaikumsalam,
kak… Hafidz sedang di masjid, sama Ansor juga pak Ustad” jawab Hafidz
“Kalau
begitu, segeralah pulang” suruh kak Salman
“Memangnya
ada apa?”
"I...ibu,
Fidz.. Ibu masuk rumah sakit, beliau tadi terjatuh di kamar mandi, sekarang
beliau dirumah sakit, ibu kritis" jelasnya
"Innaalillahi..
Baik kak, Hafidz pulang"
dengan
perasaan sedih
“emm…
maaf sebelumnya pak ustad, saya harus segera pulang, ibu saya kritis dirumah
sakit” Hafidz berpamitan
“Innalillahi…”
jawab pak ustad dan Ansor
“Yasudah…
pulanglah, semoga ibumu lekas smbuh”
“Aamiin,
pak ustad”
***
Sampailah
mereka dirumah sakit, dilihatnya ibu yang terbaring lemas disebuah ranjang yang
dilengkapi berbagai macam peralatan medis
"Dok,
bagaimana keadaan ibu saya?" tanya kak Salman
"Maaf,
saya tidak bisa menyelamatkan ibu anda, karena ibu anda mengalami pecah
pembuluh darah, darah yang menghambat otaknya sudah mencapai 40cc" jelas
dokter
"Innalillahi..."
jawab mereka sambil berpelukan.
Tak
disangka, ajal memang tak ada yang tahu, dan semalam adalah percakapan terakhir
dengannya.
”Ibuuuu....
Ya Allah… secepat inikah KAU ambil ibu dariku?" suara batinya menjerit
"Nak
Hafidz... Tadi ibu mu menitipkan ini pada bibi, juga ibu bepesan agar nak
Salman menjaga dan merawat Hafidz dan Fatimah" ujar bibi menyampaikan pesan
***
Sesudah
jenazah ibu dimakamkan, Hafidz bergegas pulang mengambil secari kertas
berisikan tulisan ibu....
"Untumu
wahai anakku...
Ibu
selalu ingat bagaimana kamu dulu merengek minta dibelikan mainan, cerewet saat
banyak hal baru yang kau temukan diperjalanan, dan kau pasti selalu menuntut
jawaban..
Kini
kau telah dewasa, kau mampu menjawab pertanyaan, memecahkan masalah sendirian,
dan kamu telah punya sebuah keinginan yang begitu mulia. Kau telah dewasa. Ibu
minta, jangan pernah berhenti sekolah sampai kamu masuk perguruan, sampai kamu
mampu wujudkan apa yang selama ini kamu inginkan. Jangan pernah menyerah
menghadapi peliknya kehidupan. Tetaplah istiqomah menebar kebermanfaatan.
Jangan pernah kau sekalipun berbalik haluan hanya karena tantangan zaman
semakin mengerikan. Jadikanlah ini sebagai ladang dakwah dalam menebar
kebermanfaatan. Jadikanlah lelahmu karena lillah..
Nak..
Mungkin ketika kau membca ini, ibu sudah tidak ada lagi dihadapan. Dan ketahui
juga, nak... Doa mu yang kini ibu perlukan.
Nak...
Jadilah santri teladan yang mampu menghadapi tantangan akhir zaman dengan penuh
kerelaan, kesabaran dan juga ketawakkalan. Jadilah pembaharu yang mampu
diandalkan dalam menebar kebermanfaatan.
Berjuanglah
wahai anakku, semoga kelak kau akan berhasil
Dari
Ibu untuk kamu, sang pembaharu"
Tangis
Hafidz tak mampu terbendung lagi, tapi dalam hati ia bertekad untuk menjadi
pribadi sekaligus pembaharu dalam menebar kebermanfaatan.
Maka
dihari berikutnya ia menyusun rancangan cara dengan Ansor, lalu
menjalankannya.. Meski tidak mudah dan membutuhkan waktu lama, akhirnya mereka
berhasil menyelamatkan organisasi dikampungnya, mereka juga dikenal sebagai
santri pembaharu bagi tantangan arus zaman.
Alhamdulillah.....
-Tamat-