Contoh cerpen : "Sepucuk Surat Untuk Hafidz"




Oleh : Raesi Amini

           
Matahari senja hampir terbenam diufuk barat. Langit mulai mengisahkan jingganya yang muram di cakrawala. Jika jingga yang muram adalah perumpamaan, hati Hafidz juga sedang muram.
            Hafidz, anak ke dua dari tiga bersaudara. Ayahnya telah meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan. Ia adalah seorang remaja yang masih duduk dibangku kelas dua Muallimien. Ia adalah  seorang yang pendiam, namun selalu mempunyai ide yang brilian. Disekolah, ia menjabat sebagai wakil ketua, dan di kampungnya ia diangkat sebagai ketua remaja mesjid.
            Sore itu... Hafidz sedang asyik mengajarkan adik tentang agama, sementara ibu dan kakak sedang asyik berbincang di ruang keluarga.
"Hafidz.. Sini naaakk" panggil ibu
"Iyaaa, buu.." sahut Hafidz sambil segera bergegas menghampiri ibu
"Ada apa, bu?" tanya hafidz
"Sini nak, duduk didekat ibu.. Ibu mau bicara"
Hafidz pun segera menuruti kemauan ibu.
"Naaak... Tak lama lagi kamu akan naik kelas, usiamu kini bukan lagi anak-anak, bukan juga seorang dewasa. Kamu adalah seorang pemuda, namun kamu harus berfikiran dewasa..." kata ibu sambil mengelus rambutnya.
"Ibu mau agar kamu bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, seperti kakakmu.. meski suatu saat nanti ibu tidak akan membersamaimu. Apa kamu mau sekolah tinggi seperti kakakmu?" sambung ibu
"Hafidz mau buu..sangat mau, mau sekolah tinggi seperti kakak" jawabnya dengan penuh semangat
"Jika kamu mau, kamu nanti akan ambil jurusan apa, nak?" tanya ibu
"Emm... Hafidz ingin mengambil jurusan tafsir qur'an buuu.. Hafidz ingin mendalami itu, supaya nanti Hafidz mampu menebar kebermanfaatan bagi orang banyak dengan ilmu tersebut bu... Di zaman yang sekarang ini, Hafidz rasa jarang sekali orang yang peduli terhadap ilmu tersebut kalau bukan ulama, ustadz dan ustadzah, itu pun sudah semakin langka.." jelas Hafidz
"Keinginanmu sungguh mulia, nak.. Ibu doakan, semoga apa yang kamu cita-cita kan untuk menebar kebermanfaatan selalu diistiqomahkan oleh Allah"
"Aamiin,." Hafidz dan kakak mengaminkan
"Yasudah.. Bu, Fidz... Kakak masuk dulu ya, sambil mau liat adik, sepertinya dia sudah tidur" ucap kakak pamit sembari meninggalkan ibu dan Hafidz
Malam semakin pekat, ibu dan Hafidz masih duduk diruangan itu, kali ini Hafidz membuka pembicaraan
"Buu... Boleh Hafidz bertanya?"
"Silahkan, nak.. Memangnya kamu mau tanya apa?" jawab ibu mempersilahkan
"Bu.. Hafidz bingung, bagaimana caranya Hafidz mempertahankan para kader remaja mesjid kampung kita.. Akhir-akhir ini, kegiatan tersendat karena perlahan minat mereka untuk bergabung dalam organisasi ini semakin berkurang.. Hafidz sedih bu, melihat remaja sekarang lebih tergiur dengan budaya barat, mulai dari penampilan, sikap, sifat serta kebiasaan mereka.
Buu.. Apakah ketika ibu kecil, ibu pernah merasakan apa yang saat ini Hafidz rasakan?"
"Tentu, nak.. Ibu pernah mengalami,namun.. Ibu rasa tantangan ibu dulu tidak seberat seperti yang kamu tanggung sekarang. Dulu ibu sangat aktif dalam berorganisasi, seperti kamu sekarang ini, tapi yang ibu tahu, dulu tidaklah sesulit itu mengajak masyarakat terutama para remaja. Yang ibu tahu, dulu masyarakat disini selalu haus akan ilmu, apalagi ilmu agama. Mungkin karena beda zaman, masyarakat kini semakin acuh dan enggan memperdalami lagi ilmu agaman.
Tapi, kamu jangan pernah menyerah. Inilah tantangan zaman yang harus dihadapi. Ingatlah kemauan terbesarmu, yaitu menebar kebermanfaatan, dan jangan lupa, selalu libatkan Allah dalam segala hal" jelas ibu
"Baik bu.. Hafidz tidak akan menyerah"
"Yasudah.. Ini sudah malam, besok kamu sekolah.. Yuk sekarang kita istirahat..." ajak ibu
"Baik buuu..."
                                                                        ***
"Buu... Hafidz berangkat dulu yaa.."
"Iyaaa, hati-hati di jalan..."
Hafidz pun bergegas pamit usai mencium tangan "Assalamualaikum, bu.."
"Waalaikumsalam" jawab ibu
 Diperjalanan menuju sekolah, Hafidz bertemu dengan anshor, teman sekolahnya
"Assalamualaikum, Fidz..." sapa Ansor
"Ehh.. Waalaikumsalam, Ansor.. Kebetulan ketemu disini, ada yang mau aku bicarakan" sahut Hafidz
"Ada apa, Fidz.. Sepertinya serius?"
"Iyaa, An... Saya bingung dengan pergaulan remaja zaman sekarang, apalagi dikampung kita sekarang ini.." jelas Hafidz
"Iyaah, Fidz saya pun akhir-akhir ini terbebankan dengan pemikiran itu, kita telah sama-sama mendirikan sebuah organisasi dengan susah payah, tapi merobohkannya begitu mudah" jawabnya putus asa
"Emm... Bagaimana kalau kita adakan acara, tabligh akbar misalnya.. Mudah-mudahan dengan itu mereka semakin semangat, bagaimana?" sambung Ansor memberikan usul
"Ahhh.. Rasanya aku tidak yakin, An... Pengajian rutin bulanan saja jarang sekali mereka hadiri. Tapi yaa memang sih itu ide yang bagus, tapi semangat mereka hanya sampai tabligh akbar itu, selebihnya... Entahlah aku tidak begitu yakin" ujarnya
"Iyaa juga, ya... Kan yang sudah-sudah juga seperti itu, ya?" sambut Ansor sambil kembali memikirkan cara lain
"Ahh yasudah, nanti kita obrolkan ini sepulang sekolah" usul Hafidz
"Baiklah jika begitu, sampai jumpa sepulang sekolah" jawab Anshor
                                                                          ***
Setibanya disekolah, mereka berpisah disudut lorong...
.
 Tibalah saatnya jam istirahat, Hafidz menemui Ansor di kantin
"Assalamualaikum.. Ansor"
"Ehh Fidz, waalaikum salam, ada apa, Fidz?"
"Emm.. Ini, Sor saya mau diskusiin masalah yang tadi kita bahas dijalan, soalnya nanti sepulang sekolah harus segera pulang, tadi kak Salman bilang ibuku sakit.."
"Ohh.. Baiklah kalau mau omongin itu sekarang, jadi, kita mau mulai dari mana? Ucap Ansor
"Langsung aja keintinya.. Kamu punya ide apa?" jawab ansor
"Emm.. Bagaimana kalau kita bicarakan hal ini sama pak ustad, nanti sore kan bakal ada kajian" usul Ansor
"Ahiyaa.. Ide yang bagus, baik nanti kita ketemu diasana"
"Okeh"
     ***


Sesudah kajian meereka membahas permasalahan
“Pak ustad, bagaimana ini, para remaja semakin enggan untuk kembali bergabung dalam organisasi, sedang saya, disekolah saya dituntut untuk tetap mempertahankan organisasi ini.”
“Fidz, jika kamu menuntut semua itu hanya untuk nilai sekolahmu, kamu akan semakin sulit, ini adalah tantangan zaman bagi kalian, zaman yang kalian tanggung saat ini dan kedepannya akan semakin berat, maka laksanakanlah semua ini karena Allah niscaya Allah akan sesegera mungkin menolongmu. Tetaplah berjuang walau sulit. Jangan pernah menyerah, karena ini adalah tantanngan zaman bagi seorang santri dan remaja lainnya.” Nasehat ustad
Tiba-tiba disela perbincangan, kak Salman, kakak Hfidz menelpon
"Assalamualaikum… Fidz.. kamu sedang dimana?" Tanya kak Salman
“Waalaikumsalam, kak… Hafidz sedang di masjid, sama Ansor juga pak Ustad” jawab Hafidz
“Kalau begitu, segeralah pulang” suruh kak Salman
“Memangnya ada apa?”
"I...ibu, Fidz.. Ibu masuk rumah sakit, beliau tadi terjatuh di kamar mandi, sekarang beliau dirumah sakit, ibu kritis" jelasnya
"Innaalillahi.. Baik kak, Hafidz pulang"
dengan perasaan sedih
“emm… maaf sebelumnya pak ustad, saya harus segera pulang, ibu saya kritis dirumah sakit” Hafidz berpamitan

“Innalillahi…” jawab pak ustad dan Ansor

“Yasudah… pulanglah, semoga ibumu lekas smbuh”

“Aamiin, pak ustad”


                                                                         ***
Sampailah mereka dirumah sakit, dilihatnya ibu yang terbaring lemas disebuah ranjang yang dilengkapi berbagai macam peralatan medis
"Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" tanya kak Salman
"Maaf, saya tidak bisa menyelamatkan ibu anda, karena ibu anda mengalami pecah pembuluh darah, darah yang menghambat otaknya sudah mencapai 40cc" jelas dokter
"Innalillahi..." jawab mereka sambil berpelukan.
 Tak disangka, ajal memang tak ada yang tahu, dan semalam adalah percakapan terakhir dengannya.
”Ibuuuu.... Ya Allah… secepat inikah KAU ambil ibu dariku?" suara batinya menjerit
"Nak Hafidz... Tadi ibu mu menitipkan ini pada bibi, juga ibu bepesan agar nak Salman menjaga dan merawat Hafidz dan Fatimah" ujar bibi menyampaikan pesan
                                                                         ***
Sesudah jenazah ibu dimakamkan, Hafidz bergegas pulang mengambil secari kertas berisikan tulisan ibu....


"Untumu wahai anakku...
Ibu selalu ingat bagaimana kamu dulu merengek minta dibelikan mainan, cerewet saat banyak hal baru yang kau temukan diperjalanan, dan kau pasti selalu menuntut jawaban..
Kini kau telah dewasa, kau mampu menjawab pertanyaan, memecahkan masalah sendirian, dan kamu telah punya sebuah keinginan yang begitu mulia. Kau telah dewasa. Ibu minta, jangan pernah berhenti sekolah sampai kamu masuk perguruan, sampai kamu mampu wujudkan apa yang selama ini kamu inginkan. Jangan pernah menyerah menghadapi peliknya kehidupan. Tetaplah istiqomah menebar kebermanfaatan. Jangan pernah kau sekalipun berbalik haluan hanya karena tantangan zaman semakin mengerikan. Jadikanlah ini sebagai ladang dakwah dalam menebar kebermanfaatan. Jadikanlah lelahmu karena lillah..
Nak.. Mungkin ketika kau membca ini, ibu sudah tidak ada lagi dihadapan. Dan ketahui juga, nak... Doa mu yang kini ibu perlukan.
Nak... Jadilah santri teladan yang mampu menghadapi tantangan akhir zaman dengan penuh kerelaan, kesabaran dan juga ketawakkalan. Jadilah pembaharu yang mampu diandalkan dalam menebar kebermanfaatan.
Berjuanglah wahai anakku, semoga kelak kau akan berhasil
Dari Ibu untuk kamu, sang pembaharu"
Tangis Hafidz tak mampu terbendung lagi, tapi dalam hati ia bertekad untuk menjadi pribadi sekaligus pembaharu dalam menebar kebermanfaatan.
 Maka dihari berikutnya ia menyusun rancangan cara dengan Ansor, lalu menjalankannya.. Meski tidak mudah dan membutuhkan waktu lama, akhirnya mereka berhasil menyelamatkan organisasi dikampungnya, mereka juga dikenal sebagai santri pembaharu bagi tantangan arus zaman.
Alhamdulillah.....
                                                                          -Tamat-

Share:

Entri yang Diunggulkan

Islam di Andalusia

A.     Proses Masuknya Islam ke Andalusia Pemerintahan Islam yang pertama kali menduduki Spanyol adalah Khalifah dari Bani Umayyah ya...

Popular Posts

Label

Recent Posts