Contoh cerpen : Bandung Lautan Api





Oleh: Dejial

“Saya perintahkan sekali lagi kepada seluruh rakyat Bandung agar mengosongkan Bandung utara, serta menyerahkan seluruh senjata yang telah dicuri dari kami!”

***

                Aku berjalan di kegelapan malam, menelitik apakah nasib kami akan terus seperti ini?  Bagiku, ini semua tidaklah beda dengan neraka yang selalu diceritakan oleh Kyai Hasyim di desaku. Bedanya, semua yang mati di hadapanku tidak hidup kembali.

 Aku hanyalah seorang warga Bandung yang kemarin baru saja menjadi yatim piatu. Kemarin adalah hari terburuk yang pernah aku alami. Seluruh keluargaku dibantai habis oleh tentara sekutu. Aku menyaksikan hal paling tragis dalam hidupku. Disaat kedua bola mataku secara jelas melihat tentara sekutu menembaki kedua orang tuaku. Begitu bengisnya mereka membunuh ibu bapakku, menusuk adik-adikku. Dan yang paling membuatku marah yaitu ketika mereka tertawa-tertawa setelah membabat habis satu keluargaku.

Aku mencoba untuk membunuh mereka juga. Membalaskan apa yang baru saja aku lihat, saat itu akal sehatku entah sedang dimana, mana mungkin aku bisa mengalahkan para tentara itu sendirian. Tapi justru amarah yang membuatku hilang kendali.

 Aku keluarkan pisau dapurku yang selalu aku simpan disamping pinggangku. Aku ringkus satu tentara dengan satu putaran di lehernya. Selanjutnya aku mengendap diantara gelapnya malam, aku tusuk satu tentara lagi tepat di punggungnya.

“Paeh sia!” kataku sembari menarik pisauku dipunggung tentara itu. Aku tendangi mayat itu beberapa kali sampai puas.

Namun gara-gara hal itu, kewaspadaanku berkurang. Satu pukulan keras mendarat di punggungku. Aku terkapar dan langsung menangkis pukulan kedua. Aku lihat ternyata dia salah satu tentara sekutu. Aku meloncat untuk memberi jarak diantara kami. Ternyata dia juga ikut meloncat sembari melancarkan pukulan kedua dengan tangan kanannya. Aku tangkis pukulan itu dari luar sehingga tubuh bagian kanannya terbuka lebar. Aku balas dengan pukulan tangan kiriku yang mengarah pada perut sebelah kanannya. Berhasil. Dia terbanting menjauh.

Aku menyiapkan kembali kuda-kudaku. Melenturkan otot-otot dan sendi-sendiku. Aku geser kaki kananku kedepan, lalu merendahkan tubuhku dan mengangkat tanganku seperti posisi Jet li saat bertarung, kutajamkan penglihatanku ke musuh.

Dia baru saja bangkit dengan tangan yang masih memegang perutnya.

“Kau boleh juga anak muda” katanya sembari tersenyum menunduk kesakitan.

Dia mengadahkan wajahnya dan tersenyum penuh arti kepadaku. Saat itu aku tidak tahu apa yang ia senyumkan. Tiba-tiba benda tumpul mendarat di belakang leherku dengan keras. Aku limbung dan akhirnya terkapar di tanah.

Aku pikir dunia baru saja kiamat.



***

Fathi berjalan dengan santai di trotoar Dayeuhkolot. Dia memandangi sekeliling, begitu kumuh, sampah dimana-mana. Angkot yang bersuliweran kesana-kemari mencari sejenis makhluk bernama manusia yang hendak bepergian.

Fathi lanjut berjalan menuju markas Zeni Tempur (Zipur) 3/YudhaWyogrha. Diujung jalan Dayeuhkolot, Fathi terpesona melihat beberapa patung disana. Fathi lalu membuka lembaran-lembaran buku yang dia bawa.

***

“Id.. Said.. bangun id!!” Asep menggoyang-goyangkan tubuhku yang terbaring. Aku langsung bangun dari tidurku, dan tiba-tiba kepalaku pusing, spontan aku memegang kepalaku.

“Ente kenapa id? Kok bisa tergeletak di luar gini?”

Aku melirik wajah asep, aku mengingat-ngingat apa yang terjadi.

“Keluarga ana semua meninggal sep, Ana coba melawan tapi tetep ana gak bisa menang. Padahal ana jawara silat saat pesantren dulu.”

“Innalillahi..Allahumagfirlahum.. ya iya lah ente gaakan bisa menang kalo sendiri. Id, mereka itu orang luar negeri, hidupnya, lingkungannya beda sama disini. Mereka tentu lebih kuat.”

Aku melamun untuk sementara, teringat dulu saat kyai Hasyim mengajarkan silat kepadaku. Beliau sangat tenang dan lembut saat mengajarkan silat. Aku termasuk murid kesayangan kyai, karena kata beliau, aku begitu berbakat dalam seni bela diri, aku bisa dengan mudah menjatuhkan lawan-lawan yang kyai pilih. Suatu ketika, beliau tiba-tiba berkata kepadaku :

“Manusia itu bisa menguasai ilmu dengan sangat tinggi, namun setinggi apapun ilmunya, dia tetaplah tanah yang lemah dan dibawah.”

Dulu aku tidak paham dengan apa yang dibicarakan kyai, namun setelah kejadian tadi, aku jadi paham apa yang dimaksud kyai dahulu. Walaupun aku begitu jago dalam bela diri silat saat di Pesantren, tetap saja akan ada yang bisa mengalahkanku.

“Gimana kabar pak Toha?” tanyaku kepada Asep.

“Alhamdulillah beliau sehat-sehat saja”

”Terus sekarang gimana kabar ultimatum?”

“Sebenernya ana sengaja ana nyari-nyari ente, eh malah pingsan disini. Sebenernya, Pak Toha dan kawan-kawan sedang menyiapkan rencana besar-besaran, begini id…”

Aku terkaget mendengar penjelasan dari Asep, seketika kami berdua berlari menuju keberadaan Pak Toha untuk memastikan hal yang akan dilakukan.

***

Tooottt…!!!!

Fathi terkaget karena suara klakson yang begitu keras. Ternyata angkot Banjaran-Tegalega di belakangnya hampir menabrak anak-anak punk yang sedang menyebrang jalan. Namun, ternyata bukan si sopir angkot yang marah. Malah, anak-anak punk itu yang berontak mengeilingi angkot tersebut. Ada yang menendang angkot tersebut, ada yang memarah-marahi si sopir, sisanya hanya ikut-ikutan memarahi.

Untung saja ada polisi lalu lintas yang datang menuju angkot itu, sehingga anak-anak punk tadi langsung berlarian menjauh, kalau tidak entah apa lah yang akan terjadi pada angkot itu. Fathi mengalihkan perhatiannya lagi kepada buku itu, namun kali ini ia hendak membaca dengan tenang. Ia lalu mendekat di danau kecil Zipur, dan duduk di pinggir danau itu.


***

“Apa yang bapak lakukan aku sama sekali tidak setuju!!” Bentakku dengan keras.

“Tapi ini yang diperintahkan TRI kepada kita. Kita harus meninggalkan tempat ini, malam ini juga. Dan kita tidak akan rela jika bumi kami ini harus dipakai oleh jepang-jepang biadab itu! Mereka juga kan yang telah membunuh keluargamu?”

Aku diam mendengar perkataan pak Toha.

“Memangnya kamu ridho jika tanahmu, tanah ibu bapakmu ini di rebut oleh mereka?” Tanya pak Toha sekali lagi.

“Rencananya kami akan membumi hanguskan daerah ini, tepat jam 21.00 WIB. Semua warga Bandung sudah setuju dengan ide ini, tidak bisa dirubah.” Lanjutnya.

“Tapi, aku  tidak sanggup lagi jika harus kehilangan bapak, Aku sudah menderita atas meninggalnya keluargaku. Bapak satu-satunya keluargaku yang masih hidup” Kataku sembari menunduk menahan tangis.

“Sudahlah, biar aku menyusul kakakku. Aku titipkan anakku kepadamu id, dia masih kecil, dia tidak tahu tentang rencana ini. Aku ingin saat besar nanti dia akan bangga mengenal  ayahnya” katanya sambil berjalan menuju puterinya.

Dia mendekati puteri semata wayangnya. Satu-satunya yang tersisa dari keluarga kecilnya, ibunya ditembak mati oleh jepang. Dia berhenti memandang sejenak puterinya. Lantas ia memeluknya dengan erat.

“Dek, Bapak pergi dulu.. ada urusan yang harus bapak selesaikan, baik-baik disini ya.. jangan nakal, jangan lupa sholat.. jika adek kangen ke bapa, lihat foto ini” katanya sembari memberi sebuah foto Pak Toha dan isterinya saat menikah.

Aku tak berani untuk melihat adegan itu, aku hanya menunduk menahan air mata.

 “Bapak pergi ya dek..” lanjutnya sembari mencium kening puterinya dengan penuh kasih sayang. Anak Pak Toha saat itu berumur 4 tahun. Terlihat air matanya menetes. Anaknya pun merasakan feeling yang diberikan bapaknya, ia mendekap erat tubuh bapaknya.

Tepat pukul 21.00 Pak Toha menjalankan misi sucinya, beliau ditemani oleh kak Ramdan dan beberapa pemuda lainnya menuju gudang mesiu Jepang. Aku saat itu sedang duduk di lereng gunung Baleendah bersama puteri Pak Toha. Tak lama, Gudang itupun meledak. Ledakannya sangat terasa kuat. 1.100 ton mesiu yang disimpan disana meledak seketika. Akupun memeluk erat gadis kecil yang bersamaku itu sembari menyaksikan ledakan dahsyat dan kobaran api yang mengelilingi Bandung saat itu.


***

Fathi menutup bukunya. Ia yang sedang duduk dipinggir danau itu, melihat ke monumen yang berada di depan danau. Persis di depan kolam didirikan dua buah monumen, bagian depan terdapat patung dada Mohammad Toha. Sedangkan di bagian belakang, sebuah monumen yang menjulang tinggi berbentuk lidah-lidah api dengan tentara yang terperangkap dalam kobarannya.


Fathi kemudia berdiri dan mendekati ke sebelah kiri monumen, terdapat tembok prasasti berisi 15 kotak marmer. Sejumlah nama pejuang yang gugur dalam peristiwa Bandung Lautan Api (BLA) dipahat di dindingnya. Selain itu, pada bagian atas tembok prasasti ini terdapat ornamen kobaran api.

            Tak lama, Fathi dikagetkan dengan seorang anak laki-laki yang menarik-narik bajunya.

“Mbak..Mbak..  saya belum makan.. minta kasihannya mbak” katanya sembari memelas. Akhirnya Fathi memberikan uang lima libu kepada anak itu, anak itu berterima kasih dan langsung berlari pergi.

Fathi tersenyum sembari melihat ke seberang kolam, tampak sebuah tembok memanjang dengan relief cerita seputar BLA. Pada tembok yang didominasi batu andesit berwarna emas terdapat gambar-gambar pertempuran dan tokoh-tokoh bangsa seperti Soekarno dan Hatta, truk-truk militer, tulisan-tulisan dan relief ledakan gudang mesiu.

 Fathi melihat suatu foto dan berkata dalam hatinya..

“Aku Bangga Padamu pak…”





Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Islam di Andalusia

A.     Proses Masuknya Islam ke Andalusia Pemerintahan Islam yang pertama kali menduduki Spanyol adalah Khalifah dari Bani Umayyah ya...

Popular Posts

Label

Recent Posts