AKsiologi : Nilai Kegunaan Ilmu

 


Tiga pilar utama yang menjadi landasan atau dasar manusia berpikir dan mendalami sesuatu secara komprehensif, yaitu: ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Suriasumantri :1987). Hakikat apa yang ingin diketahui manusia merupakan pokok bahasan dalam ontologi. Dalam hal ini manusia ingin mengetahui tentang “ada” atau eksistensi yang dapat dicerap oleh pancaindera. Epsitemologi merupakan landasan kedua filsafat yang mengungkapkan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan atau kebenaran tersebut. Setelah memperoleh pengetahuan, manfaat apa yang dapat digunakan dari pengetahuan itu. Inilah yang kemudian membawa pemikiran kita menengok pada konsep aksiologi, yaitu, filsafat yang membahas masalah nilai kegunaan dari nilai pengetahuan.

Sebuah kenyataan yang sudah tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia berhutang pada ilmu dan teknologi. Keduanya membawa manusia kepada keindahan dalam memenuhi kebutuhannya. Tidak hanya itu, kini manusia tidak perlu memerlukan waktu yang panjang untuk mencapainya. Namun di sisi lain, apakah ilmu itu selalu membawa nilai positif, bagi manusia apakah ilmu juga terbebas dari pembawa malapetaka dan kehancuran manusia itu sendiri, yang akhirnya diakhiri dengan sebuah perlawanan ‘apakah’ ilmu itu bebas nilai. Banyak kenyataan yang dapat kita jadikan contoh pelanggaran terhadap hakikat ilmu. Dehumanisasi adalah ekses teknologi yang bersifat negatif. Dengan demikian sebuah ilmu bisa berdampak positif, bisa juga negatif bergantung bagaimana operasionalisasi ilmu dalam kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan orang banyak.

Sebagai ilmuwan, sudah seharusnya mengetahui bagaimana sikap yang harus dibangun ketika mengamalkan sebuah ilmu sehingga ilmu yang dibuat dengan hakikat kebenaran tidak akan mengalami pembiasan tujuan bahkan membentuk tujuan sendiri. Sebagai intelekual komunikasi, apakah kita membayangkan bahwa proses komunikasi yang dilakukan akan membawa nilai guna atau justru menyengsarakan atau membahayakan orang lain yang menjadi lawan bicara kita. Oleh karena itu, berbicara masalah aksiologi ilmu tidak akan dapat lepas dari persoalan moral. Secara moral, ilmu harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa mengubah hakikat kemanusiaan (Sumantri 2003). Ketimpangan akan terjadi bila pemahaman ilmuwan terhadap sains dan teknologinya hanya terbatas pada pemahaman konten, tanpa berusaha memahami sisi manusia pembuat ilmu. Pemahaman yang terbatas pada sisi sains saja, akan berefek pada kurangnya perhatian terhadap moralitas pengguna ilmu, padahal ilmu bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Salah satu implikasi etis yang ditimbulkan oleh perkembangan dan penemuan di bidang teknologi modern adalah ruang lingkup pengertian, kebebasan, dan tanggung jawab moral manusia dalam tindakannya (Sumantri 2003)


PEMBAHASAN

Sudah disinggung sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan tidak selalu berbanding lurus dengan kebaikan. Beberapa bahkan memanfaatkannya sebagai perbuatan jahat. Untuk lebih mudah dalam memahami aksiologi ilmu, maka sebaiknya kita perhatikan beberapa definisi tentang aksiologi terlebih dahulu. Beberapa definisi tentang aksiologi diungkapkan oleh Amsal Bahtiar (Bahtiar 2004) sebagai berikut:

a.       Bedasarkan bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata ‘axios’ dalam bahasa Yunani artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa aksiologi adalah ‘ilmu tentang nilai’.

b.      Dengan mengutip pada Jujun. S Suriasumantri, aksiologi berarti teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

c.       Mengutip dari Bramei, aksiologi terbagi dalam 3 bagian penting, antara lain:

a) Tindakan moral yang melahirkan etika

b) Ekspresi keindahan yang melahirkan estetika

c) Kehidupan sosial politik yang melahirkan filsafat sosial politik

d.      Dalam encyclopedia of philosophy, dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan ‘value’ dan valuation. Dalam hal ini nilai dianggap sebagai nilai memberi nilai dan dinilai. Richard Laningan sebagaimana dikutip Efendi mengatakan bahwa aksiologi yang merupakan kategori keempat dalam dilsadar merupakan studi etika dan estetika. Hal ini berarti bahwa aksiologi berfokus pada kajian terhadap nilai-nilai manusiawi serta bagaimana cara mengekspresikannya.

e.       Adapun Jujun S. Suriasumantri, aksiologi lebih difokuskan kepada nilai kegunaan ilmu. Ilmu dipandang akan berpautan dengan moral. Nilai sebuah ilmu akan diwarnai sejauh mana ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial terhadap ilmu yang dimiliki, apakah akan dipergunakan untuk suatu kebaikan atau akan digunakannya sebagai sebuah kejahatan. Oleh karena itu, ilmu akan mengalami kemajuan apabila ilmuwan mempunyai peradaban (Sumantri 2003).

Bramel seperti yang dikutip Amsal (2009) membagi aksiologi dalam tiga bagian, yakni moral conduct, estetic expression, dan socio-political life. Moral Conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan yang mana bidang ini melahirkan keindahan. Dan terakhir yang mebidani lahirnya filsafat kehidupan sosial politik.

 

A.     Logika

Pada buku Filsafat Ilmu karangan Suaedi (2016) dijelaskan bahwa Logika pada dasarnya merupakan suatu teknik atau metode yang diciptakan untuk meneliti ketepatan dalam penalaran. Penalaran akan berkaitan dengan berpikir asas-asas, patokan-patokan, hukum-hukum. Logika akan membantu manusia dalam menempuh jalan yang paling efisien dan menjaga kemampuan yang salah dalam berpikir. Dengan kata lain orang dapat berpikir secara benar.

Dengan memahami logika, setidaknya seorang tidak akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan, kekeliruan atau kesalahan. Francis Bacon dalam bukunya“Novum Organum” sebagaimana dikutip Mundiri mengatakan tentang beberapa jenis kekeliruan.

1)      The idols of the cave, yaitu kekeliruan yang disebabkan oleh pemikiran yang sempit. Seseorang yang melakukan kesalahan ini, berarti dia kurang mengetahui hubungan kasualitas dari fakta-fakta yang ditemuinya.

2)      The idols of the tribe, yaitu kesesatan yang disebabkan oleh hakikat manusiayang secara individu merasa dirinya dari suku, bangsa dan ras tertentu.Hal ini berakibat pada kurangnya kepekaan pada perbedaan antar budaya.

3)      The idols of the forum, yaitu kesalahan karena kurangnya penguasaan bahasa sehingga pada gilirannya akan mengurangi kemampuan dalam memilih kata-kata dan menggunakannya secara tepat untuk mengungkapkan suatu kebenaran.

4)      The idols of the market, yaitu kekeliruan pada diri seseorang karena terlalu kaku dalam mengindentifikasi dirinya terhadap adat, kebiasan, dan normanormasosial.

 

B.     Nilai

Memperbincangkan aksiologi tentu membahas dan membedah masalah nilai. Apa sebenarnya nilai itu? Bertens (2007) menjelaskan nilai sebagai sesuatu yang menarik bagi seseorang, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang dicari, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Pendeknya, nilai adalah sesuatu yang baik. Lawan dari nilai adalah non-nilai atau disvalue. Ada yang mengatakan disvalue sebagai nilai negatif. Sedangkan sesuatu yang baik adalah nilai positif. Hans Jonas, seorang filsuf Jerman-Amerika, mengatakan nilai sebagai the addresse of a yes. Sesuatu yang ditujukan dengan ya. Nilai adalah sesuatu yang kita iya-kan atau yang kita aminkan. Nilai selalu memiliki konotasi yang positif (Bertens, 2007).

Dalam pembahasan aksiologi, nilai menjadi fokus utama. Nilai dipahami sebagai pandangan, cita-cita, adat, kebiasaan, dan lain-lain yang menimbulkan tanggapan emosional pada seseorang atau masyarakat tertentu. Dalam filsafat, nilai akan berkaitan dengan logika, etika, estetika (Salam 1997). Logika akan menjawab tentang persoalan nilai kebenaran sehingga dengan logika akan diperoleh sebuah keruntutan. Etika akan berbicara mengenai nilai kebenaran, yaitu antara yang pantas dan tidak pantas, antara yang baik dan tidak baik. Adapun estetika akan mengupas tentang nilai keindahan atau kejelekan. Estetika biasanya erat berkaitan dengan karya seni.

Menurut Wilardjo sebagaimana dikutip Djubaedi dikatakan bahwa kebenaran sebuah ilmu pengetahuan tidak pernah absolut, tetapi relatif tentatif dan sementara (Salam 1997). Dengan demikian, kebenaran ilmu pengetahuan hanya berlaku untuk masyarakat ilmiah seiring dengan perkembangan teori yang diakui kebenarannya pada masa sekarang, tidak selalu berlaku untuk masa yang akan datang. Sebuah teori bukanlah harga mati yang tidak boleh disanggah, justru demi kemajuan ilmu itu sendiri, ia harus mampu melahirkan ilmu yang baru.

Ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini, para ilmuan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu golongan pertama yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya, golongan kedua bahwa netralisasi terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisis keilmuan sedangkan dalam penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang telah dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.

Beberapa golongan mempunyai pandangan yang tidak sama. Nilai dalam pandangan agama tentu berbeda dengan positivisme, pragmatisme, fatalisme, hinduisme dan sebagainya. Sekarang, bagaimana pandangan Anda tentang kawin sirih yang penuh pro dan kontra. Atau poligami? Tentu, masingmasing orang akan memberikan penilaian yang berbeda sesuai dengan kepentingannya sendiri-sendiri.

 

C.     Etika

Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan (Hamersma, 1985; Rapar, 1996; Tim Dosen UGM, 2007), watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup. Dalam Bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) menjelaskan etika dalam tiga arti. Pertama, etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Kedua, etika adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Ketiga, etika ialah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Moral dalam KBBI (2003) didefinisikan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai akhlak; akhlak dan budi pekerti; kondisi mental yang mempengaruhi seseorang menjadi tetap bersemangat, berani, disiplin, dan sebagainya. Suseno (1993) mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik dan buruknya manusia sebagai manusia. Baik buruk di sini tidak merujuk profesi/pekerjaan manusia itu sendiri sebagai dosen, guru, pemain bulu tangkis, atau sebagai ustad/ustadah; tetapi sebagai manusia.

Ada yang mendefinisikan etika dan moral sebagai teori mengenai tingkah laku manusia yaitu baik dan buruk yang masih dapat dijangkau oleh akal. Moral adalah suatu ide tentang tingkah laku manusia (baik dan buruk) menurut situasi yang tertentu. Fungsi etika itu ialah mencari ukuran tentang penilaian tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk) akan tetapi dalam praktiknya etika banyak sekali mendapatkan kesukaran-kesukaran. Hal ini disebabkan ukuran nilai baik dan buruk tingkah laku manusia itu tidaklah sama (relatif) yaitu tidal terlepas dari alam masing masing. Namun demikian etika selalu mencapai tujuan akhir untuk menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara umum atau dapat diterima oleh semua bangsa di dunia ini. Perbuatan tingkah laku manusia itu tidaklah sama dalam arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak semua tingkah laku manusia itu dapat dinilai oleh etika.

Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral (Tim Dosen Filsafat UGM, 2007). Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Bahasan etika, dalam sejarah filsafat barat, telah ada sejak zaman Sokrates (470-399 s.m.). Dalam pembahasannya, etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak (Rapar,1996).

Andersen sebagaimana dikutip oleh Surajiyo mengatakan bahwa etika adalah sebuah situasi yang mempelajari nilai dan landasan bagi penerapannya. Hal ini pantas atau tidak pantas, baik atau buruk. Sebuah etika tidak akan lagi mempersoalkan kondisi manusia tetapi sudah pada bagaimana seharusnya manusia bertidak namun kemudian kita tidak dapat mengatakan bahwa sebuah etika akan menyelesaikan persoalan praktis. Sebuah etika tidak mengatakan pada seseorang apa yang harus dilakukannya pada situasi tertentu. Teori etika akan membantu menusia untuk memutuskan apa yang harus ia lakukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi praktis etika adalah memberikan pertimbangan dalam perilaku.

Tidak akan dapat dikatakan bahwa etika adalah sesuatu yang benar dan tidak benar, tetapi etika lebih memandang pada pertimbangan yang relevan untuk suatu alasan berkaitan dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang. Bukan berarti bila seseorang berperilaku tidak pantas itu adalah salah dan berperilaku pantas itu benar, tetapi sejauh mana alasan dari berperilaku tersebut. Sebagai contoh, dalam ilmu komunikasi, perkataan etis dan tidak etis sering sekali kita jumpai dalam peristiwa sehari-hari. Pengungkapan ini akan sangat dekat dengan makna pantas atau tidak pantas sehingga ukurannya adalah norma. Namun demikian, suatu etika bersifat relatif atau tidak mutlak, yang berarti bahwa dalam waktu yang berbeda dan tempat yang berbeda untuk satu etika dengan subjek sama, tidak akan mungkin sama persis. Kita contohkan ketika kita melihat budaya kumpul kebo pada budaya barat, dengan budaya timur. Di budaya barat, kumpul kebo dipandang sesuatu yang etis dan wajar-wajar saja, tetapi dalam budaya timur seperti Indonesia, kumpul kebo dianggap sebagai sesuatu yang tidak etis atau belum etis. Demikian juga dengan ungkapan “dancuk” bagi masyarakat Madura adalah suatu ungkapan etis, tetapi bagi masyarakat di luar itu belum tentu etis.

 

 

D.    Estetika

Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata Yunani yaitu aisthetika atau aisthesis. Kata tersebut berarti hal-hal yang dapat diserap dengan indera atau serapan indera. Estetika sebagai bagian dari aksiologi selalu membicarakan permasalahan, pertanyaan, dan isu-isu tentang keindahan, ruang lingkupnya, nilai, pengalaman, perilaku pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia (Wiramiharja, 2006). Polemik estetika sampai sekarang masih ramai diperbincangkan banyak orang. Khususnya jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan hukum. Apa sebenarnya ukuran keindahan itu dan perannya dalam kehidupan manusia? Serta bagaimana hubungan antara keindahan dengan kebenaran?

Estetika akan dikaitkan dengan seni karena estetika lahir dari penilaian manusia tentang keindahan. Kattsof sebagaimana yang dikutip Effendi mengatakan bahwa estetika akan menyangkut perasaan, dan perasaan ini adalah perasaan indah. Nilai keindahan tidak semata-mata pada bentuk atau kualitas objeknya, tetapi juga isi atau makna yang dikandungnya. Dengan demikian sebuah estetika akan ditemukan dalam sisi lahirnya maupun batinnya, bukan hanya sepihak. Sebagai ilustrasi bahwa wanita cantik belum tentu indah, karena cantik disini belum tentu menimbulkan kesenangan pada perasaan orang lain. Ilustrasi lain, misalnya kita bangun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap, padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.

Contoh yang lain dalam hal komunikasi. Komunikasi juga dapat dilihat dari sisi estetikanya. Warner J Saverin dan James Tankard Jr dalam bukunya: “Communication Theories, Origins, Methods, Uses’, mengatakan bahwa komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagai seni, dan sebagai ilmu. Komunikasi massa adalah keterampilan yang meliputi teknik-teknik tertentu yang secara fundamental dapat dipelajari, seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan perekam pita, dan mencatat ketika wawancara. Komunikasi massa adalah seni dalam artian tantangan-tantangan kreatif seperti menulis naskah untuk acara dokumenter televisi, mengembangkan tata letak yang menyenangkan dan memikat untuk iklan majalah, serta menampilkan teras berita yang menarik dan mengena untuk kisah berita. Ia adalah ilmu yang mencakup asas-asas yang dapat diuji dalam membuat karya komunikasi yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan khusus yang lebih efektif (Zamroni 2009)

 

 

E.     Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan

Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun. S. Suriasumatri bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.

Untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:

1)      Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan untuk memahami dan mereaksikan dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan, sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya.Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.

2)      Filsafat sebagai pandangan hidup. Dalam hal ini, semua teori ajarannya diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup digunakan sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan.

3)      Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu di depan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung maka dapat diasumsikan bahwa batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.

 

 

KESIMPULAN

Aksiologi berarti Ilmu tentang Nilai. Kajian filsafat ranah Aksiologi menjadi sangat penting bagi kehidupan sehari2 karena di sana dibahas terkait cara berpikir dengan jernih. Kajian Aksiologi terdapat beberapa submateri yaitu Nilai, Etika dan Estetika. Lalu hubungan antara aksiologi dan filsafat ilmu mempunyai materi kelebihan dan kekurangan masing-masing.


Referensi

Bahrum. 2013. ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI. Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013.

Bakhtiar A. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Beerling. 1998. Pengantar Filsafat Ilmu. Jakarta: Tiara Wacana.

Jujun SS. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: PT Penerbit IPB Press

Suhartono S. 2008. Pengantar Filsafat Ilmu. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri.

Wahyu Abadi T. 2016. Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika. KANAL (JURNAL ILMU KOMUNIKASI), 4 (2), Maret 2016, 187-204. http://ojs.umsida.ac.id/index.php/kanal


Share:

Entri yang Diunggulkan

Islam di Andalusia

A.     Proses Masuknya Islam ke Andalusia Pemerintahan Islam yang pertama kali menduduki Spanyol adalah Khalifah dari Bani Umayyah ya...

Popular Posts

Label

Recent Posts