Bagaimana Hukum Merayakan Tahun Baru Menurut Islam?


Menjelang pergantian tahun banyak kegiatan perayaan yang digelar untuk memeriahkannya. Lantas bagaimana hukum merayakan tahun baru Masehi menurut Islam? apakah umat muslim boleh merayakannya?

Tahun Baru Masehi berbeda dengan penanggalan Hijriah yang menjadi acuan beribadah umat Islam.

Hukum Merayakan Tahun Baru Menurut Islam
Terkait hukum merayakan tahun baru Masehi ini, terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Sebagian ulama mengharamkannya, sementara sebagian lainnya menghukuminya mubah atau boleh.

Pendapat yang Membolehkan Perayaan Tahun Baru Masehi

Salah satu pendapat yang membolehkan perayaan tahun baru Masehi adalah Guru Besar Al-Azhar Asy-Syarif serta Mufti Agung Mesir Syekh Athiyyah Shaqr (wafat 2006 M). Menurut mereka, perayaan tahun baru Masehi ini boleh-boleh saja dilakukan selama tidak mengandung unsur kemaksiatan.

Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak." [Wizarah Al-Auqof Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).

Senada dengan pendapat tersebut, kebolehan merayakan tahun Baru Masehi ini juga disampaikan oleh ulama pakar hadis terkemuka asal Haramain, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki (wafat 2004 M). Dia berpendapat bahwa tahun baru merupakan bagian dari tradisi yang tidak ada korelasinya dengan agama.

Pendapat yang Mengharamkan Perayaan Tahun Baru Masehi

Salah satu ulama yang mengharamkan perayaan tahun baru Masehi adalah Al Imam Ibnu Tammiyah. Dalam pernyataannya, dia menjelaskan:

"Adapun mengucapkan selamat terhadap syiar-syiar keagamaan orang-orang kafir yang khusus bagi mereka, maka hukumnya haram."

Keharaman merayakan tahun baru Masehi juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwiyatkan oleh Al Baihaqi.

Umar bin Khatab ra berkata,

"Janganlah kalian mengunjungi kaum Musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka, karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka." (HR. Al Baihaqi, no: 18640)

Keterangan dalam kedua hadits tersebut secara jelas menerangkan bahwa mengucapkan selamat atau ikut serta dalam merayakan hari-hari besar kaum musyirikin (Tahun Barun, Natal, Valentine, dll) haram dilakukan oleh umat Islam.

Terdapat pula hadits mengenai larangan merayakan hari raya non-muslim yaitu Nairuz dan Mihrajan yang merupakan hari raya orang kafir saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang di Madinah. Saat itu mereka mempunyai kebiasaan merayakan hari Nairuz dan mihrajan. Nairuz adalah hari di awal tahun baru masehi (syamsiyyah) versi Majusi, sedangkan Mihrajan hari raya 6 bulan setelahnya. Mendapati fenomena ini saat di Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan bahwa umat Islam sudah mempunyai dua hari raya yaitu ‘iedul Fithri dan ‘Iedul Adha, tidak perlu ikut-ikutan merayakan hari raya tersebut. 

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,

لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Dahulu orang-orang Jahiliyyah memiliki dua hari di setiap tahun yang malan mereka biasa bersenang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, beliau bersabda,

Dahulu kalian memiliki dua hari di mana kalian bersenang-senang ketika itu. Sekarang Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari besar yang lebih baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.”[HR. Abu Daud no. 1134; An-Nasa’i no. 1556. Shahih]

Sahabat ‘Abdullaah bin ‘Amr radhiallaahu ‘anhuma berkata,

ﻣَﻦْ ﺑَﻨَﻰ ﻓِﻲ ﺑِﻼﺩِ ﺍﻷَﻋَﺎﺟِﻢِ، ﻭَﺻَﻨَﻊَ ﻧَﻴْﺮُﻭﺯَﻫُﻢْ ﻭَﻣِﻬْﺮَﺟَﺎﻧَﻬُﻢْ ﻭَﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻬِﻢْ، ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻤُﻮﺕَ، ﻭَﻫُﻮَ ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﺣُﺸِﺮَ ﻣَﻌَﻬُﻢْ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ

“Barangsiapa yang membangun negeri-negeri kaum ‘ajam (negeri kafir), meramaikan hari raya Nairuz dan Mihrajan (perayaan tahun baru mereka), serta meniru-niru mereka hingga ia mati dalam keadaan seperti itu, ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.”[Sunan Al-Kubraa 9/234]

Hari Nairuz adalah hari raya tahun baru orang Majusi menurut perhitungan kalender masehi (pergiliran matahari). Masyarakat kota madinah saat itu ikut-ikutan merayakan hari raya Majusi tersebut.


Share:

AWAS! Hadis-hadis Palsu Bulan Rajab

 


Bulan Rajab merupakan bulan ketujuh dalam penanggalan Islam dan termasuk satu dari bulan yang dimuliakan Allah SWT. Bulan ini merupakan salah satu bulan yang istimewa bagi umat islam. Sehingga bulan ini sangat dinanti kehadirannya. Masuknya bulan Rajab juga menandakan bahwa bulan suci Ramadhan akan segera tiba.  
Bulan Rajab ini diidentikan dengan bulan yang agung karena pada bulan ini Nabi Muhammad SAW melakukan peristiwa yang sangat agung, yaitu Isra' dan Mi'raj memakai Buraq untuk menghadap Allah SWT. 
Namun, dalam pelaksanaannya sehari-hari, banyak amalan-amalan yang dianggap sunnah untuk dikerjakan, padahal tidak ada contohnya dari Nabi SAW atau yang biasa disebut dengan Bid'ah. Hal itu dikarenakan hadis-hadis yang menjadi sandaran hukum amalan di bulan rajab banyak yang dhaif.

Dilansir dari almanhaj.or.id berikut hadis-hadis keutamaan rajab yang ternyata dhaif :

HADIST PERTAMA 

رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ


“Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku."


Hadis ini Maudhu' dengan referensi : Menurut Syaikh ash-Shaghani (wafat th. 650 H): “Hadits ini maudhu’.” [Lihat Maudhu’atush Shaghani (I/61, no. 129)]

    Kata Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H): “Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Mandah dari Ibnu Jahdham, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Muhammad bin Sa’id al-Bashry, telah menceritakan kepada kami Khalaf bin ‘Abdullah as-Shan’any, dari Humaid ath-Thawil dari Anas, secara marfu’. [Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if (no. 168-169)] 

        Kata Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H): “Hadits ini palsu dan yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu Jahdham, mereka menuduh sebagai pendusta. Aku telah mendengar Syaikhku Abdul Wahhab al-Hafizh berkata: “Rawi-rawi hadits tersebut adalah rawi-rawi yang majhul (tidak dikenal), aku sudah periksa semua kitab, tetapi aku tidak dapati biografi hidup mereka.” [Al-Maudhu’at (II/125), oleh Ibnul Jauzy] 

    Imam adz-Dzahaby berkata: “ ’Ali bin ‘Abdullah bin Jahdham az-Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shuufiyyah pengarang kitab Bahjatul Asraar dituduh memalsukan hadits.” Kata para ulama lainnya: “Dia dituduh membuat hadits palsu tentang shalat ar-Raghaa-ib.” Periksa : Mizaanul I’tidal (III/142-143, no. 5879).


HADIST KEDUA

فَضْلُ شَهْرِ رَجَبٍ عَلَى الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الْكَلاَمِ وَفَضْلُ شَهْرِ شَعْبَانَ كَفَضْلِي عَلىَ سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ، وَفَضْلُ شَهْرِ رَمَضَانَ عَلَى الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى سَائِرِ العِبَادِ.

Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaan al-Qur-an atas semua perkataan, keutamaan bulan Sya’ban seperti keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan seperti keutamaan Allah atas semua hamba.” 
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) MAUDHU’ 
Kata al Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany: “Hadits ini palsu.” Lihat : al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ (no. 206, hal. 128), oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky (wafat th. 1014 H).


HADIST KETIGA

صَلَّى الْمَغْرِبَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا عِشْرِيْنَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدُ  مَرَّةً، وَيُسَلِّمُ فِيْهِنَّ عَشْرَ تَسْلِيْمَاتٍ، أَتَدْرُوْنَ مَا ثَوَابُهُ ؟ فَإِنَّ الرُّوْحَ اْلأَمِيْنَ جِبْرِيْلُ عَلَّمَنِيْ ذَلِكَ. قُلْنَا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ: حَفِظَهُ اللَّهُ فِيْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَأُجِيْرَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَجَازَ عَلَى الصِّرَاطِ كَالْبَرْقِ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ.

“Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua puluh raka’at, setiap raka’at membaca al-Fatihah dan al-Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan kepadaku demikian.” Kami berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, dan berkata: ‘Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan anaknya serta diselamatkan dari adzab Qubur dan ia akan melewati as-Shirath seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak disiksa.’” 
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) MAUDHU’ 
Kata Ibnul Jauzi: “Hadits ini palsu dan kebanyakan rawi-rawinya adalah majhul (tidak dikenal biografinya).” Lihat al-Maudhu’at Ibnul Jauzy (II/123), al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh as-Syaukany (no. 144) dan Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at (II/89), oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani (wafat th. 963 H).


HADIST KEEMPAT

مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍٍ وَصَلَّى فِيْهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرَأُ فِيْ أَوَّلِ رَكْعَةٍ مِائَةَ مَرَّةٍِ آيَةَ الْكُرْسِيِّ وَ فِي الرَّكَعَةِ الثَّانِيَةِ مِائَةَ مَرَّةٍِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد, لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ أَوْ يُرَى لَهُ.

“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat empat raka’at, di raka’at pertama baca ‘ayat Kursiy’ seratus kali dan di raka’at kedua baca ‘surat al-Ikhlas’ seratus kali, maka dia tidak mati hingga melihat tempatnya di Surga atau diperlihatkan kepadanya (sebelum ia mati)”. 
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) MAUDHU’ 
Kata Ibnul Jauzy: “Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya majhul serta seorang perawi yang bernama ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah perawi matruk menurut para Ahli Hadits.” [Al-Maudhu’at (II/123-124)] Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah rawi yang lemah. Lihat : Taqriibut Tahdziib (I/663 no. 4518)


HADIST KELIMA
مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍ عَدَلَ صِيَامَ شَهْرٍ 

“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya) sama dengan berpuasa satu bulan.”

 Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ جِدًّا) SANGAT LEMAH 
    Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh dari Abu Dzarr secara marfu’. Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al-Furaat bin as-Saa-ib, dia adalah seorang rawi yang matruk. [Lihat al-Fawaa-id al-Majmu’ah (no. 290)] Kata Imam an-Nasa-i: “Furaat bin as-Saa-ib Matrukul hadits.” 

    Dan kata Imam al-Bukhari dalam Tarikhul Kabir: “Para Ahli Hadits meninggalkannya, karena dia seorang rawi munkarul hadits, serta dia termasuk rawi yang matruk kata Imam ad-Daraquthni.” Lihat  : adh-Dhu’afa wa Matrukin oleh Imam an-Nasa-i (no. 512), al-Jarh wat Ta’dil (VII/80), Mizaanul I’tidal (III/341) dan Lisaanul Mizaan (IV/430).



Itulah beberapa Hadist Dhaif mengenai Bulan Rajab. Pembahasan lengkapnya bisa lihat di almanhaj.or.id di link berikut

Share:

BACA INI Sebelum Melaksanakan Puasa Rajab


Bulan Rajab merupakan bulan ketujuh dalam penanggalan Islam dan termasuk satu dari bulan yang dimuliakan Allah SWT. Bulan ini merupakan salah satu bulan yang istimewa bagi umat islam. Sehingga bulan ini sangat dinanti kehadirannya. Masuknya bulan Rajab juga menandakan bahwa bulan suci Ramadhan akan segera tiba. Pada saat bulan Rajab, umat muslim dianjurkan untuk berpuasa sunah. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW. Hadis tersebut berbunyi: 


“Dari Utsman bin Hakim Al-Anshari bahwa ia berkata: Saya bertanya kepada sahabat Sa’id bin Jubair mengenai puasa Rajab, dan saat itu kami berada di bulan Rajab. Maka ia pun menjawab: Saya telah mendengar Ibnu Abbas ra berkata: Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpuasa hingga kami berkata bahwa beliau tidak akan berbuka. Dan beliau juga pernah berbuka hingga kami berkata bahwa beliau tidak akan puasa”.


Dari riwayat hadist tersebut, disebutkan bahwa Rasulullah kerap berpuasa selama bulan Rajab. Namun puasa sunah tersebut tidak dilakukan sebulan penuh. Puasa Rajab bisa dilakukan selama tiga hari pada saat awal bulan yakni tanggal 1 Rajab, 2 Rajab dan 3 Rajab.Dari riwayat hadist tersebut, disebutkan bahwa Rasulullah kerap berpuasa selama bulan Rajab. Namun puasa sunah tersebut tidak dilakukan sebulan penuh. Puasa Rajab bisa dilakukan selama tiga hari pada saat awal bulan yakni tanggal 1 Rajab, 2 Rajab dan 3 Rajab.


Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan, alasan bulan-bulan ini dinamakan al-hurum adalah, apabila melakukan perbuatan maksiat pada bulan-bulan tersebut akan dibalas dengan ganjaran yang lebih berat. Sebaliknya, jika berbuat ketaatan maka akan mendapat pahala lebih banyak (Al-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, juz 16, h. 53).


Menurut Sayyid Abu Bakar Syattha’ dalam I’ânah at-Thâlibîn, Rajab diambil dari kata at-tarjîb yang berarti memuliakan. Karena masyarakat Arab dulu lebih memuliakannya dibanding bulan lainnya. Rajab disebut juga Al-Ashabb yang berarti mengucur. Atau dapat diartikan sebagai bulan kucuran rahmat bagi hamba-hamba Allah yang bertaubat kepada-Nya. Bulan Rajab juga dikenal dengan sebutan Al-‘Ashamm yang berarti tuli, karena pada bulan tersebut tidak terdengar gemerincing senjata untuk berkelahi.



Keutamaan Puasa Rajab


Terkait keutamaan puasa Rajab, Imam al-Ghazali dalam Ihyâ ‘Ulumiddîn (juz 3, h. 431) mengutip dua hadits berikut: 

"Satu hari berpuasa pada bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), lebih utama dibanding berpuasa 30 hari pada bulan selainnya. Satu hari berpuasa pada bulan Ramadhan, lebih utama dibanding 30 hari berpuasa pada bulan haram." 


"Barang siapa berpuasa selama tiga hari dalam bulan haram, hari Jumat, dan Sabtu, maka Allah balas setiap satu harinya dengan pahala sebesar ibadah 900 tahun."


Puasa Rajab sifatnya sunnah. Dengan catatan akan makruh jika dilakukan selama satu bulan penuh. Sebagai saran, baiknya puasa Rajab dilakukan dengan bertepatan pada hari-hari utama dalam bulan Rajab.



Jadwal Puasa Rajab


Berdasarkan keputusan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, awal Rajab 1443 H jatuh pada Kamis, 3 Februari 2022 M. Keputusan ini didasarkan pada laporan tim rukyat yang tidak melihat hilal di seluruh Indonesia pada Selasa, 29 Jumadil Akhirah 1443 H /1 Februari 2022 M.  Artinya puasa Rajab bisa mulai dilakukan pada Kamis, 3 Februari 2022 hingga Sabtu, 5 Februari 2022. 


Niat Puasa Rajab


Sama seperti puasa wajib dibulan Ramadhan, sebelum menjalankan puasa Rajab kamu juga harus melafalkan niatnya. Berikut ini niat puasa Rajab: 


Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnati Rajaba lillâhi ta‘âlâ.


Share:

AKsiologi : Nilai Kegunaan Ilmu

 


Tiga pilar utama yang menjadi landasan atau dasar manusia berpikir dan mendalami sesuatu secara komprehensif, yaitu: ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Suriasumantri :1987). Hakikat apa yang ingin diketahui manusia merupakan pokok bahasan dalam ontologi. Dalam hal ini manusia ingin mengetahui tentang “ada” atau eksistensi yang dapat dicerap oleh pancaindera. Epsitemologi merupakan landasan kedua filsafat yang mengungkapkan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan atau kebenaran tersebut. Setelah memperoleh pengetahuan, manfaat apa yang dapat digunakan dari pengetahuan itu. Inilah yang kemudian membawa pemikiran kita menengok pada konsep aksiologi, yaitu, filsafat yang membahas masalah nilai kegunaan dari nilai pengetahuan.

Sebuah kenyataan yang sudah tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia berhutang pada ilmu dan teknologi. Keduanya membawa manusia kepada keindahan dalam memenuhi kebutuhannya. Tidak hanya itu, kini manusia tidak perlu memerlukan waktu yang panjang untuk mencapainya. Namun di sisi lain, apakah ilmu itu selalu membawa nilai positif, bagi manusia apakah ilmu juga terbebas dari pembawa malapetaka dan kehancuran manusia itu sendiri, yang akhirnya diakhiri dengan sebuah perlawanan ‘apakah’ ilmu itu bebas nilai. Banyak kenyataan yang dapat kita jadikan contoh pelanggaran terhadap hakikat ilmu. Dehumanisasi adalah ekses teknologi yang bersifat negatif. Dengan demikian sebuah ilmu bisa berdampak positif, bisa juga negatif bergantung bagaimana operasionalisasi ilmu dalam kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan orang banyak.

Sebagai ilmuwan, sudah seharusnya mengetahui bagaimana sikap yang harus dibangun ketika mengamalkan sebuah ilmu sehingga ilmu yang dibuat dengan hakikat kebenaran tidak akan mengalami pembiasan tujuan bahkan membentuk tujuan sendiri. Sebagai intelekual komunikasi, apakah kita membayangkan bahwa proses komunikasi yang dilakukan akan membawa nilai guna atau justru menyengsarakan atau membahayakan orang lain yang menjadi lawan bicara kita. Oleh karena itu, berbicara masalah aksiologi ilmu tidak akan dapat lepas dari persoalan moral. Secara moral, ilmu harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa mengubah hakikat kemanusiaan (Sumantri 2003). Ketimpangan akan terjadi bila pemahaman ilmuwan terhadap sains dan teknologinya hanya terbatas pada pemahaman konten, tanpa berusaha memahami sisi manusia pembuat ilmu. Pemahaman yang terbatas pada sisi sains saja, akan berefek pada kurangnya perhatian terhadap moralitas pengguna ilmu, padahal ilmu bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Salah satu implikasi etis yang ditimbulkan oleh perkembangan dan penemuan di bidang teknologi modern adalah ruang lingkup pengertian, kebebasan, dan tanggung jawab moral manusia dalam tindakannya (Sumantri 2003)


PEMBAHASAN

Sudah disinggung sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan tidak selalu berbanding lurus dengan kebaikan. Beberapa bahkan memanfaatkannya sebagai perbuatan jahat. Untuk lebih mudah dalam memahami aksiologi ilmu, maka sebaiknya kita perhatikan beberapa definisi tentang aksiologi terlebih dahulu. Beberapa definisi tentang aksiologi diungkapkan oleh Amsal Bahtiar (Bahtiar 2004) sebagai berikut:

a.       Bedasarkan bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata ‘axios’ dalam bahasa Yunani artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa aksiologi adalah ‘ilmu tentang nilai’.

b.      Dengan mengutip pada Jujun. S Suriasumantri, aksiologi berarti teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

c.       Mengutip dari Bramei, aksiologi terbagi dalam 3 bagian penting, antara lain:

a) Tindakan moral yang melahirkan etika

b) Ekspresi keindahan yang melahirkan estetika

c) Kehidupan sosial politik yang melahirkan filsafat sosial politik

d.      Dalam encyclopedia of philosophy, dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan ‘value’ dan valuation. Dalam hal ini nilai dianggap sebagai nilai memberi nilai dan dinilai. Richard Laningan sebagaimana dikutip Efendi mengatakan bahwa aksiologi yang merupakan kategori keempat dalam dilsadar merupakan studi etika dan estetika. Hal ini berarti bahwa aksiologi berfokus pada kajian terhadap nilai-nilai manusiawi serta bagaimana cara mengekspresikannya.

e.       Adapun Jujun S. Suriasumantri, aksiologi lebih difokuskan kepada nilai kegunaan ilmu. Ilmu dipandang akan berpautan dengan moral. Nilai sebuah ilmu akan diwarnai sejauh mana ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial terhadap ilmu yang dimiliki, apakah akan dipergunakan untuk suatu kebaikan atau akan digunakannya sebagai sebuah kejahatan. Oleh karena itu, ilmu akan mengalami kemajuan apabila ilmuwan mempunyai peradaban (Sumantri 2003).

Bramel seperti yang dikutip Amsal (2009) membagi aksiologi dalam tiga bagian, yakni moral conduct, estetic expression, dan socio-political life. Moral Conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan yang mana bidang ini melahirkan keindahan. Dan terakhir yang mebidani lahirnya filsafat kehidupan sosial politik.

 

A.     Logika

Pada buku Filsafat Ilmu karangan Suaedi (2016) dijelaskan bahwa Logika pada dasarnya merupakan suatu teknik atau metode yang diciptakan untuk meneliti ketepatan dalam penalaran. Penalaran akan berkaitan dengan berpikir asas-asas, patokan-patokan, hukum-hukum. Logika akan membantu manusia dalam menempuh jalan yang paling efisien dan menjaga kemampuan yang salah dalam berpikir. Dengan kata lain orang dapat berpikir secara benar.

Dengan memahami logika, setidaknya seorang tidak akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan, kekeliruan atau kesalahan. Francis Bacon dalam bukunya“Novum Organum” sebagaimana dikutip Mundiri mengatakan tentang beberapa jenis kekeliruan.

1)      The idols of the cave, yaitu kekeliruan yang disebabkan oleh pemikiran yang sempit. Seseorang yang melakukan kesalahan ini, berarti dia kurang mengetahui hubungan kasualitas dari fakta-fakta yang ditemuinya.

2)      The idols of the tribe, yaitu kesesatan yang disebabkan oleh hakikat manusiayang secara individu merasa dirinya dari suku, bangsa dan ras tertentu.Hal ini berakibat pada kurangnya kepekaan pada perbedaan antar budaya.

3)      The idols of the forum, yaitu kesalahan karena kurangnya penguasaan bahasa sehingga pada gilirannya akan mengurangi kemampuan dalam memilih kata-kata dan menggunakannya secara tepat untuk mengungkapkan suatu kebenaran.

4)      The idols of the market, yaitu kekeliruan pada diri seseorang karena terlalu kaku dalam mengindentifikasi dirinya terhadap adat, kebiasan, dan normanormasosial.

 

B.     Nilai

Memperbincangkan aksiologi tentu membahas dan membedah masalah nilai. Apa sebenarnya nilai itu? Bertens (2007) menjelaskan nilai sebagai sesuatu yang menarik bagi seseorang, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang dicari, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Pendeknya, nilai adalah sesuatu yang baik. Lawan dari nilai adalah non-nilai atau disvalue. Ada yang mengatakan disvalue sebagai nilai negatif. Sedangkan sesuatu yang baik adalah nilai positif. Hans Jonas, seorang filsuf Jerman-Amerika, mengatakan nilai sebagai the addresse of a yes. Sesuatu yang ditujukan dengan ya. Nilai adalah sesuatu yang kita iya-kan atau yang kita aminkan. Nilai selalu memiliki konotasi yang positif (Bertens, 2007).

Dalam pembahasan aksiologi, nilai menjadi fokus utama. Nilai dipahami sebagai pandangan, cita-cita, adat, kebiasaan, dan lain-lain yang menimbulkan tanggapan emosional pada seseorang atau masyarakat tertentu. Dalam filsafat, nilai akan berkaitan dengan logika, etika, estetika (Salam 1997). Logika akan menjawab tentang persoalan nilai kebenaran sehingga dengan logika akan diperoleh sebuah keruntutan. Etika akan berbicara mengenai nilai kebenaran, yaitu antara yang pantas dan tidak pantas, antara yang baik dan tidak baik. Adapun estetika akan mengupas tentang nilai keindahan atau kejelekan. Estetika biasanya erat berkaitan dengan karya seni.

Menurut Wilardjo sebagaimana dikutip Djubaedi dikatakan bahwa kebenaran sebuah ilmu pengetahuan tidak pernah absolut, tetapi relatif tentatif dan sementara (Salam 1997). Dengan demikian, kebenaran ilmu pengetahuan hanya berlaku untuk masyarakat ilmiah seiring dengan perkembangan teori yang diakui kebenarannya pada masa sekarang, tidak selalu berlaku untuk masa yang akan datang. Sebuah teori bukanlah harga mati yang tidak boleh disanggah, justru demi kemajuan ilmu itu sendiri, ia harus mampu melahirkan ilmu yang baru.

Ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini, para ilmuan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu golongan pertama yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya, golongan kedua bahwa netralisasi terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisis keilmuan sedangkan dalam penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang telah dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.

Beberapa golongan mempunyai pandangan yang tidak sama. Nilai dalam pandangan agama tentu berbeda dengan positivisme, pragmatisme, fatalisme, hinduisme dan sebagainya. Sekarang, bagaimana pandangan Anda tentang kawin sirih yang penuh pro dan kontra. Atau poligami? Tentu, masingmasing orang akan memberikan penilaian yang berbeda sesuai dengan kepentingannya sendiri-sendiri.

 

C.     Etika

Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan (Hamersma, 1985; Rapar, 1996; Tim Dosen UGM, 2007), watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup. Dalam Bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) menjelaskan etika dalam tiga arti. Pertama, etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Kedua, etika adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Ketiga, etika ialah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Moral dalam KBBI (2003) didefinisikan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai akhlak; akhlak dan budi pekerti; kondisi mental yang mempengaruhi seseorang menjadi tetap bersemangat, berani, disiplin, dan sebagainya. Suseno (1993) mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik dan buruknya manusia sebagai manusia. Baik buruk di sini tidak merujuk profesi/pekerjaan manusia itu sendiri sebagai dosen, guru, pemain bulu tangkis, atau sebagai ustad/ustadah; tetapi sebagai manusia.

Ada yang mendefinisikan etika dan moral sebagai teori mengenai tingkah laku manusia yaitu baik dan buruk yang masih dapat dijangkau oleh akal. Moral adalah suatu ide tentang tingkah laku manusia (baik dan buruk) menurut situasi yang tertentu. Fungsi etika itu ialah mencari ukuran tentang penilaian tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk) akan tetapi dalam praktiknya etika banyak sekali mendapatkan kesukaran-kesukaran. Hal ini disebabkan ukuran nilai baik dan buruk tingkah laku manusia itu tidaklah sama (relatif) yaitu tidal terlepas dari alam masing masing. Namun demikian etika selalu mencapai tujuan akhir untuk menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara umum atau dapat diterima oleh semua bangsa di dunia ini. Perbuatan tingkah laku manusia itu tidaklah sama dalam arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak semua tingkah laku manusia itu dapat dinilai oleh etika.

Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral (Tim Dosen Filsafat UGM, 2007). Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Bahasan etika, dalam sejarah filsafat barat, telah ada sejak zaman Sokrates (470-399 s.m.). Dalam pembahasannya, etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak (Rapar,1996).

Andersen sebagaimana dikutip oleh Surajiyo mengatakan bahwa etika adalah sebuah situasi yang mempelajari nilai dan landasan bagi penerapannya. Hal ini pantas atau tidak pantas, baik atau buruk. Sebuah etika tidak akan lagi mempersoalkan kondisi manusia tetapi sudah pada bagaimana seharusnya manusia bertidak namun kemudian kita tidak dapat mengatakan bahwa sebuah etika akan menyelesaikan persoalan praktis. Sebuah etika tidak mengatakan pada seseorang apa yang harus dilakukannya pada situasi tertentu. Teori etika akan membantu menusia untuk memutuskan apa yang harus ia lakukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi praktis etika adalah memberikan pertimbangan dalam perilaku.

Tidak akan dapat dikatakan bahwa etika adalah sesuatu yang benar dan tidak benar, tetapi etika lebih memandang pada pertimbangan yang relevan untuk suatu alasan berkaitan dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang. Bukan berarti bila seseorang berperilaku tidak pantas itu adalah salah dan berperilaku pantas itu benar, tetapi sejauh mana alasan dari berperilaku tersebut. Sebagai contoh, dalam ilmu komunikasi, perkataan etis dan tidak etis sering sekali kita jumpai dalam peristiwa sehari-hari. Pengungkapan ini akan sangat dekat dengan makna pantas atau tidak pantas sehingga ukurannya adalah norma. Namun demikian, suatu etika bersifat relatif atau tidak mutlak, yang berarti bahwa dalam waktu yang berbeda dan tempat yang berbeda untuk satu etika dengan subjek sama, tidak akan mungkin sama persis. Kita contohkan ketika kita melihat budaya kumpul kebo pada budaya barat, dengan budaya timur. Di budaya barat, kumpul kebo dipandang sesuatu yang etis dan wajar-wajar saja, tetapi dalam budaya timur seperti Indonesia, kumpul kebo dianggap sebagai sesuatu yang tidak etis atau belum etis. Demikian juga dengan ungkapan “dancuk” bagi masyarakat Madura adalah suatu ungkapan etis, tetapi bagi masyarakat di luar itu belum tentu etis.

 

 

D.    Estetika

Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata Yunani yaitu aisthetika atau aisthesis. Kata tersebut berarti hal-hal yang dapat diserap dengan indera atau serapan indera. Estetika sebagai bagian dari aksiologi selalu membicarakan permasalahan, pertanyaan, dan isu-isu tentang keindahan, ruang lingkupnya, nilai, pengalaman, perilaku pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia (Wiramiharja, 2006). Polemik estetika sampai sekarang masih ramai diperbincangkan banyak orang. Khususnya jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan hukum. Apa sebenarnya ukuran keindahan itu dan perannya dalam kehidupan manusia? Serta bagaimana hubungan antara keindahan dengan kebenaran?

Estetika akan dikaitkan dengan seni karena estetika lahir dari penilaian manusia tentang keindahan. Kattsof sebagaimana yang dikutip Effendi mengatakan bahwa estetika akan menyangkut perasaan, dan perasaan ini adalah perasaan indah. Nilai keindahan tidak semata-mata pada bentuk atau kualitas objeknya, tetapi juga isi atau makna yang dikandungnya. Dengan demikian sebuah estetika akan ditemukan dalam sisi lahirnya maupun batinnya, bukan hanya sepihak. Sebagai ilustrasi bahwa wanita cantik belum tentu indah, karena cantik disini belum tentu menimbulkan kesenangan pada perasaan orang lain. Ilustrasi lain, misalnya kita bangun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap, padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.

Contoh yang lain dalam hal komunikasi. Komunikasi juga dapat dilihat dari sisi estetikanya. Warner J Saverin dan James Tankard Jr dalam bukunya: “Communication Theories, Origins, Methods, Uses’, mengatakan bahwa komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagai seni, dan sebagai ilmu. Komunikasi massa adalah keterampilan yang meliputi teknik-teknik tertentu yang secara fundamental dapat dipelajari, seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan perekam pita, dan mencatat ketika wawancara. Komunikasi massa adalah seni dalam artian tantangan-tantangan kreatif seperti menulis naskah untuk acara dokumenter televisi, mengembangkan tata letak yang menyenangkan dan memikat untuk iklan majalah, serta menampilkan teras berita yang menarik dan mengena untuk kisah berita. Ia adalah ilmu yang mencakup asas-asas yang dapat diuji dalam membuat karya komunikasi yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan khusus yang lebih efektif (Zamroni 2009)

 

 

E.     Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan

Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun. S. Suriasumatri bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.

Untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:

1)      Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan untuk memahami dan mereaksikan dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan, sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya.Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.

2)      Filsafat sebagai pandangan hidup. Dalam hal ini, semua teori ajarannya diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup digunakan sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan.

3)      Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu di depan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung maka dapat diasumsikan bahwa batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.

 

 

KESIMPULAN

Aksiologi berarti Ilmu tentang Nilai. Kajian filsafat ranah Aksiologi menjadi sangat penting bagi kehidupan sehari2 karena di sana dibahas terkait cara berpikir dengan jernih. Kajian Aksiologi terdapat beberapa submateri yaitu Nilai, Etika dan Estetika. Lalu hubungan antara aksiologi dan filsafat ilmu mempunyai materi kelebihan dan kekurangan masing-masing.


Referensi

Bahrum. 2013. ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI. Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013.

Bakhtiar A. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Beerling. 1998. Pengantar Filsafat Ilmu. Jakarta: Tiara Wacana.

Jujun SS. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: PT Penerbit IPB Press

Suhartono S. 2008. Pengantar Filsafat Ilmu. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri.

Wahyu Abadi T. 2016. Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika. KANAL (JURNAL ILMU KOMUNIKASI), 4 (2), Maret 2016, 187-204. http://ojs.umsida.ac.id/index.php/kanal


Share:

Pemikiran Kalam Harun Nasution



Oleh : Mifathul Haq

A.           Riwayat Hidup Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada hari selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Beliau adalah putra dari Abdul Jabar Ahmad, seorang peadgang asal Mandailing dan Qodbhi (Penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di kabupaten Simalungun, Pematang Siantar. Harun berasal dari keturunan yang taat beragama, keturunan orang terpandang, dan mempunyai strata yang lumayan. Kondisi keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar melanjutkan cita-citanya mendalami ilmu pengetahuan. Ayahnya seorang ulama yang menguasai kitab kitab Jawi dan suka membaca kitab kuning berbahasa melayu. Ibunya seorang boru Mandailing Tapanuli, Maemunah keturunan seorang ulama, pernah bermukim di Mekkah dan mengikuti kegiatan di Masjidil Haram

Harun memulai pendidikannya disekolah Belanda, Holandsch Inlandche School (HIS) ketika berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, ia belajar Belanda  dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu, dia berada dalam lingkungan berdisiplin ketat. Di lingkungan memulai pendidikannya dari lingkungan keluarganya dengan mengaji, shalat dan ibadah lainnya. Setelah tamat HIS, Harun merencanakan sekolah ke MULO. Akan tetapi orang tuanya tidak merestui, karena menganggap pengetahuan umum  Harun sudah cukup dengan sekolah di HIS. Akhirnya Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern, yaitu Moderne Islamietische Kweekschool (MIK), semacam MULO di Bukitinggi tahun1934. Setelah sekolah di MIK , sikap kegamaan Harun mulai berbeda dengan sikap keberagamaan, yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk lingkungan kampungnya. Atas desakan orang tuanya, ia meninggalkan MIK dan pergi belajar ke Saudi Arabia. Di negeri gurun pasir itu, Harun tidak lama dengan memohon kepada orang tuanya agar mengizinkannya untuk melanjutkasn studi ke Mesir. Di Mesir dia memulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, namun beliau tidak puas dan pindah ke Universitas Amerika di Kairo. Di universitas itu, Harun bukan mendalami hukum-hukum islam melainkan mendalami ilmu pendidikan dan ilmu sosial. Setelah tamat dari Universitas Kairo dengan ijazah B.A., Harun bekerja di perusahan swasta dan kemudian di konsulat Indonesia Kairo. Dari konsulat itulah putra Batak yang mempersunting gadis Mesir (bernama Sayedah) ini, memulai diplomatiknya. Dari mesir, Harun ditarik ke Jakarta bekerja sebagai pegawai Departemen Dalam Negeri  dan kemudian menjabat sebagai sekretaris pada kedutaan besar Insonesia di Brussel. Situasi politik dalam negeri Indonesia pada dekade 60-an membuat Harun mengundurkan diri dari karir diplomatik dan pulang kembali ke Mesir. Di Mesir, Harun mulai menggeluti dunia Ilmu pengetahuan di Sekolah Tinggi Studi Islam dibawah bimbingan seorang ulama fiqih Mesir terkemuka, Abu Zahrah. Ketika itu, Harun mendapatkan tawaran mengambil studi Islam di Universitas McGill, Kanada. Pada tingkat Magister, Harun menulis tentang “Pemikiran Negara Islam di Indonesia”, sedang untuk disertasi Ph.D, Harun menulis tentang “posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh”.

Harun Nasution merupakan putra Indonesia pertama yang mencapai gelar doktor pada Islamic Studies di McGill University Montreal pada tahun 1968. Setelah meraih gelar doktor, Harun kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada perkembangan pemikiran Islam lewat IAIN yang ada di Indonesia. Harun Nasution menjadi menjadi Rektor IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk dua periode dan paling lama (1973-1978 dan 1978-1984). Kemudian dengan berdirinya pasca sarjana, Harun menjabat sebagai Direktur program pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai meninggal dunia (1988), di usianya kurang lebih 79 tahun. Karya Harun Nasution semuanya menjadi buku teks terutama dilingkungan IAIN  yaitu: Teologi Islam (1972), Islam Ditinjau dari Berhagai Aspeknya (1974) 2 jilid, Filsafat Agama (1978), Filsafat dan mistisisme dalam Islam (1978), Aliran Modern dalam Islam (1980), dan Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah (1987).


 

 

B.     Pokok Pemikiran Tauhid Harun Nasution

1.      Peranan Akal

Peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menetukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian, “akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akal lah, manusia mempunyai  kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemahnya kekuatan akal manusia, bertambah rendah pula kesanggupannya menghadapi kekuatan- kekuatan lain tersebut.

 

2.      Hubungan wahyu dan akal.

Dalam hal hubungan akal dan wahyu, sebagaimana pemikiran ulama Muktazillah terdahulu Harun Nasution berpendapat bahwa akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan. Dengan demikian kita tidaklah heran kalau Sirajudin Abbasc berpendapat bahwa Kaum Mu’tazilah banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist. Hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam  Al-Quran. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.  Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menetang wahyu.

 

3.      Pembaharuan Teologi

Asumsinya bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam di Indonesia juga di mana saja disebabkan  ada yang salah dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan kaum modernis  pendahulunya seperti M.Abduh, Rasyid Ridha, Al-Afghani dan lainnya yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam sejati. Yang bersifat rasional, berwatak free-will, dan mandiri serta lepas dari fatalistik dan irasional.

 

4.      Baik dan Buruk menurut pertimbangan akal.

Bertumbuh besar yang diberikan kepada wahyu oleh suatu aliran, bertambah kecil daya akal dalam aliran itu, oleh karena itu di dalam sistem teologi, yang memberikan daya besar kepada akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan, tetapi dalam sistem teologi yang memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia dipandang lemah dan tidak merdeka. Akal dan wahyu sebagai sumber pengetahuan manusia dapat dijelaskan sebagai berikut: akal untuk memperoleh pengetahuan. Dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh pancaindra sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan.

Mengenai pemakaian akal, aliran Mu’tazilah memberikan daya yang besar kepada akal. Aliran Maturidiyah Samarkand memberikan daya kurang besar dari Mu’tazilah, tapi lebih besar dari pada Maturidiyah Bukhara, sementara itu, aliran Asy’ariyah memberikan daya terkecil kepada akal. Menurut kaum Mu’tazilah, tidak sama yang baik dapat diketahui oleh akal. Untuk mengetahui hal itu, memperlakukan pertolongan wahyu. Oleh karena itu, Abdul Jabar membagi perbuatan-perbuatan kepada beberapa bagian yaitu : a) Munakir aqliyah (perbuatan yang dicela akal) contoh: tidak adil dan berbuat dusta. b) Munakir syar’iah (perbuatan yang dicela oleh sayar’iat atau wahyu) seperti: mencuri, berzina, minum-minuman keras. Dengan demikan, wahyu menurut kaum Mu’tazilah mempunyai konfirmasi dan informasi.



Daftar Pustaka

 

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta:UI-press

Suntiah, Ratu dan Maslani, 2014. Ilmu Tauhid, Bandung: Interes Media.                   

Suntiah, Ratu dan Maslani, 2018. Ilmu Kalam, Bandung: CV Armico.           

Karman, M & Supoana. 2009. Materi pendidikan agama islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Abduh, Muhammad. 1965. Risalah Tauhid. Jakarta:Bulan Bintang.

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 1986).

Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (PT. Bulan Bintang. Jakarta. 1973).

Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah. (Universitas Indonesia (UI Prees). Jakarta. 1987).

Muzani, Syaiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. (Mizan. Bandung. 1995).

Halim, Abdul. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution. (Ciputat. Jakarta. 2001).

https://maktabahmahasiswa.blogspot.com/2019/03/makalah-ilmu-kalam-harun-nasution-dan-h.html

http://makalahkuindonesia.blogspot.com/2017/12/makalah-tauhid-imlu-kalam-pemikiran.html

https://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-prof-dr-harun-nasution/

 

 


Share:

Entri yang Diunggulkan

Islam di Andalusia

A.     Proses Masuknya Islam ke Andalusia Pemerintahan Islam yang pertama kali menduduki Spanyol adalah Khalifah dari Bani Umayyah ya...

Popular Posts

Label

Recent Posts