Contoh Cerpen : PELANGI DIUFUK MATA PAK MARIN




By: Faruq Alghifari

“Bang, nanti tolong bawain berkas-berkas bapak ya..” ucap lirih Pak Marin. Lelaki paruh baya, berkemeja coklat usang serta kopeah selaras itu sembari meninggalkan ruangan kelas.
            “Iya pak, nanti Bambang bawa ke kantor” kataku sembari membersihkan ruangan kelas. Kelasku jauh dari kata sempurna. Hanya kayu jati tua sebagai tihang, bilik usang sebagai dinding, serta tumpukan daun kelapa kering sebagai atapnya. Aku tak perlu lama-lama untuk membersihkan kelas ini. Toh hanya mengangkat bangku-bangku, dan menghapus papan tulis. Karena lantai kelasku hanya hamparan pasir, jadi gak usah repot-repot menyapu dan mengepel.
            Aku keluar kelas membawa berkas-berkas Pak Marin menuju kantor. Semilir angin laut terasa mengelus-elus rambut pendekku. Aku berjalan menuju kantor guru yang berada disebrang kelasku yang berjarak sekitar 10 meter.
            “Ini pak berkasnya, ditaruh dimana?” tanyaku sambil memasuki kantor sekolah.
            “Ditaruh disana aja bang, di atas meja” Jawab Pak Marin sambil menyeruput Teh manisnya.
            “Bang gimana bapakmu? Sudah pulang melaut kah?”
            “Belum pak, menurut ibu katanya paling 2-3 minggu lagi.” Jawabku sambil duduk di kursi dekat pak Marin.
            “Mudah-mudahan aja bapakmu masih sempat menonton.. ukhuk.. ukhuk..” ceritanya terhenti oleh batuk. Pak Marin terhenti sebentar lalu meminum teh manisnya. Aku mendekati Pak Marin dan mengelus-elus punggung tuanya.
            “Emang menonton apa pak?” tanyaku setelah melihat pak Marin baikan.
            Pak marin tersenyum serta menatap mataku dengan penuh harapan.
            Bulan depan akan diadakan lomba cerdas cermat antar desa, yaa dikarenakan desa kita hanya punya 1 sekolah, tentu kita wajib untuk ikutan” katanya dengan penuh antusias.
            “Bulan depan? Terus siapa yang menjadi perwakilan sekolah kita pak?” tanyaku heran.
            “Tentu anak-anak terbaik dari sekolah kita, dan salah satunya kamu bang, nanti bapak bakal mengumumkan teman-teman kamu yang juga akan berangkat ke kota” lanjutnya dengan senyum lagi.
            “kenapa Bambang dipilih pak? Bambang kan gak bisa apa-apa, rangking aja enggak”
            “Abang tahu Pelangi? Pelangi itu datang setelah badai memporak-porandakan setiap benda yang dilaluinya. Pelangi itu datang setelah langit terasa mencekam. Dan karena itulah bapak milih kamu.”
            Aku hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Begitulah Pak Marin, selalu berkata yang tidak aku ketahui maknanya. Tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Aku lebih memikirkan tentang Cerdas Cermat yang akan aku hadapi. Seumur-umur aku belum pernah mengikuti lomba seperti itu. Pernah sih beberapa kali, tapi itu saat cerdas cermat versi pak Marin dikelas.

***
Mambang di langit telah hilang, sang surya telah sempurna ditelan gelapnya malam. Angin malam tak henti-hentinya hilir mudik, Angin yang berasal dari laut itu begitu mencekam saat malam, begitu menusuk kulit kurasa.
Dentuman ombak yang menghantam karang seakan menjadi lagu malam misterius. Terlebih jika bulan purnama mengambang di angkasa, pasang laut menjadi akibatnya, dentuman ombak semakin keras dan semakin hebat.
            “Bang.. Udah sholat isya?” Tanya ibu dari arah dapur.
            “Udah bu..” aku yang sedang duduk diteras segera menjawab.
            Tak lama ibu datang sambil membawa beberapa lembar majalah, koran dan lain-lain.
            “Nih.. jangan lupa dibaca!! Ibu tadi dari pasar, sekalian aja beli koran dan majalah bekas, ya walupun keadaannya kurang layak tapi tetep kita harus mengorek ilmunya kan” kata ibu dengan tegas.
            “Iya bu makasih.. sekalian buat bahan..”
            “Bahan buat apa? Bahan buat kue? Bahan buat bikin asin?” Tanya ibu.
            “ya bukan lah bu.. hehe” aku menjawab sambil cengengesan.
            “Abang kepilih jadi perwakilan sekolah, untuk lomba cerdas cermat bulan depan dikota” Lanjutku penuh antusias.
            “Wah? Masa sih bang?” ibu terperanjat kaget.
            “Wah.. wah.. ini bukan disawah bu.. ini dipantai” aku mencoba bergurau.
            Tiba-tiba ibu mengubah cara berdirinya. Ia seperti memasang kuda-kuda dan hendak berbicara sesuatu.
            “Ternyata inilah sang Bambang, anak dari pesisir pantai menjadi perwakilan desa untuk cerdas cermat..” kata ibu menirukan suara reporter berita di tv.
            “Ih apaan sih bu.. jelek..”
            “Haha.. yaudah kalo gitu ibu bakal lebih sering lagi membelikan kamu majalah yaa..” Lanjutnya.
            “iya bu..”
            Ibu akhirnya memilih untuk masuk kerumah dan tidur bersama si kecil. Aku yang ditemani beberapa majalah bekas, lebih memilih memandang bintang-bintang dilangit, sambil berkata dalam hati apakah bapak akan pulang dan menyaksikan anaknya berlomba?

                                                                        ***
            Pagi hari ini adalah waktunya upacara bendera. Anak-anak sekolah dari mulai kelas 1-6 berbaris rapih mengelilingin tiang bendera. Aku berada dibarisan kelas 5 yang kebetulan ada 5 siswa. Di desa ini tak banyak memang yang bersekolah, anak-anak lain lebih baik ikut melaut bersama orang tuanya daripada harus bersekolah.
            Pak Marin yang menjadi Pembina upacara, karena dia satu-satunya. Sebenarnya ada 3 guru disekolah ini, Pak gun sebagai kepala sekolah, Pak Marin dan Pak Anwar. Namun kedua guru yang lain jarang masuk, mereka mengajar disini mungkin hanya formalitas agar menjadi PNS. Hanya tersisa Pak Marin yang setia mengajar tiap hari disini. Mengajar dari mulai kelas 1-6. Sulit memang, tapi pak Marin selalu punya acara agar kegiatan belajar-mengajar berjalan efektif.
            “Siswa-siswi mulai dari kelas 1-6 yang bapak cintai, tak akan lama bapak berpidato disini, bapak hanya ingin menyampaikan, berhubung dengan diadakannya lomba cerdas cermat dikota 1 bulan mendatang. Oleh karena itu sekolah bapak liburkan sementara, agar bapak fokus melatih siswa-siswi yang akan lomba.” Kata Pak Marin dengan suara lantang.
            Mendadak lapangan upacara menjadi riuh oleh sorakan para siswa.
“Adapun yang menjadi perwakilan sekolah kita yaitu, Seli sang Insinyur dari kelas 6, Amar sang Profesor dari kelas 6, dan Bambang sang Pelangi dari kelas 5” lanjutnya.
            Aku termanggu sesaat, malu memang terpilih menjadi perwakilan, disandingkan dengan kak Seli yang Pak Marin juluki sang Insinyur, atau dengan Amar sang Profesor. Mereka begitu mengagumkan, kak Seli yang tergila-gila dengan dunia permesinan, elektronik. Atau kak Amar yang sangat jago dengan Biologi, Fisika, Kimianya. Sedangkan aku tak bisa apa-apa, aku hanya senang membaca seperti yang selalu disuruh ibu, dan senang memperhatikan penjelasan dari Pak Marin, itu pun hanya saat pelajaran Bahasa Indonesia, karena memang aku suka terhadap pelajaran itu.
            Aku mengira selama satu bulan kedepan, hanya kami bertiga yang sekolah di desa ini. Tapi tak seperti yang aku bayangkan. Ternyata Pak Marin hanya memberikan waktu 4 hari untuk kami bersekolah, sehari sekolah, besoknya libur, lusanya sekolah lagi, lalu libur lagi, Begitulah seterusnya. Entah apa maksudnya pola ini, hanya pak Marin yang tahu.
            Hari pertama latihan aku sangat semangat, kami bertiga begitu antusias untuk latihan. Kami bertiga duduk rapih dihadapan pak Marin yang sedang membaca koran didepan kelas. Seperempat jam kami hanya terdiam melihat pak Marin membaca koran, tanpa ada yang berbicara sedikitpun. Bosan memang. Lantas kak Amar yang memulai berbicara.
“Pak Marin? Bisa kita memulai latihannya?” Tanya kak Amar dengan penuh kesopanan.
“Kita sedang latihan, Amar” jawab Pak Marin sambil tetap membaca korannya. Setelah itu kami tidak berani lagi untuk bertanya. Kami hanya diam menyaksikan Pak Marin membaca. Setengah jam kemudian Pak Marin selesai membaca dan bangkit sambil berkata :
 “Latihan hari ini dicukupkan sekian, terima kasih atas waktunya. Kalian bisa pulang” katanya sambil pergi meninggalkan kelas. Baju dinas usangnya menghilang di kelokan pintu kelas.
            Kami termangu menyaksikan pak Marin.
            Minggu pertama kami, hanya dihabiskan dengan menonton pak Marin membaca, awalnya kami tidak terlalu kesal, tetapi melihat lomba semakin dekat, kami mulai kesal dan khawatir. Kami takut persiapan kami hanya sia-sia untuk lomba. Akhirnya pada hari ke-7 kami sepakat untuk protes kepada Pak Marin. Tapi Pak Marin hanya berkata :
            “Kalian lulus ujian pertama, minggu ini bapak hanya mengetes kesungguh-sungguhan kalian dalam latihan, bapak mengira kalian hanya dapat bertahan 2-3 hari, namun ternyata seminggu ini kalian sanggup bersabar. Kalian harus tahu bahwa menuntut ilmu itu harus disertai kesabaran. Agar bermanfaat kelak” kata pak Marin sambil tersenyum.
            Kami lega ternyata ini hanya tes, dan kami juga menyesal karena protes. Tetapi ajaib, berkat perilaku dan perkataan Pak Marin tadi kami jadi semakin bersemangat untuk latihan.
            Minggu kedua kami diperbolehkan membaca buku, kak Seli hanya boleh membaca tentang hal kesukaannya, yaps tentang Mesin, Elektronik dan sebagainya, kak Amar hanya boleh membaca tentang Kimia, Biologi, dan Fisika. Sedangkan aku hanya disuruh membaca saja. Hanya membaca. Aku menurut saja, walaupun tak tahu kenapa pak Marin memerintah demikian. Begitulah tabeat Pak Marin, selalu misterius.
            Waktu demi waktu, Hari demi hari, aku mulai bosan untuk membaca, aku dituntut terus membaca oleh Pak Marin, membaca segala hal sangat membosankan, aku ingin lebih fokus membaca dalam satu hal, seperti kak Seli dan Kak Amar. Bayangkan saja, dalam satu hari aku membaca tentang ilmu pengetahuan, ensiklopedia, ilmu astronomi, bahkan resep masak dan tips mencatok kuku yang baik dan benar aku baca. Kalau bukan karena perintah, serta nasehat kemarin Pak Marin, aku pasti sudah tidak akan bisa sabar.
***
            Dan lagi-lagi malam ini menyambutku lagi dengan setumpuk buku yang harus kubaca. Buku-buku ini pinjaman dari pak Marin, dan Desa setempat. Dalam waktu seminggu aku harus sudah menguasai buku-buku ini. Aku tak khawatir, setumpuk buku ini bukan masalah bagiku, bahkan jikalau ada buku setumpuk lemari aku pasti akan membacanya, dari dulu aku memang gemar untuk membaca, versi cerita ibu katanya saat usia 5 tahun aku sudah lancar untuk membaca dan berbicara jelas. Bahkan dulu ibu pernah cerita saat dipasar aku merengek minta dibelikan majalah, sampai ibu harus menggendongku menjauhi pasar. Atau ketika aku mengambil koran milik penjaga toko tanpa sepengetahuan si penjaga toko. Lalu ibu yang mengembalikannya serta berulang kali meminta maaf kepada si penjaga toko, aku saat itu tak tahu apa-apa dan hanya termanggu melihat ibu. Mungkin itu sebabnya sampai saat ini ibu melarangku untuk pergi ke pasar, dan tugas ibulah yang selalu membelikan majalah bekas untukku.
            “Bang, udahan dulu bacanya, makan dulu.. dari pagi abang belum makan” kata ibu dengan suara yang lirih.
            “Iya bu bentar lagi, sampai tamat buku ini” jawabku dengan suara rendah.
            “Yaudah jangan sampe lupa makan yaa.. ibu mau tidur dulu”
            “Iya bu siap..” jawabku lantang.
            Begitulah aku, jika sudah memegang buku, menelisik setiap inchi kata-katanya, akan lupa banyak hal, termasuk makan. Untung ada ibu yang selalu siap siaga mengingatkanku.
            Minggu ke 4 suasana mulai tegang, entah kenapa aku selalu terpikirkan bagaimana kalau aku tidak bisa menjadi juara. Juga tentang kepulangan bapak, Sampai saat ini belum ada tanda-tanda bapak akan pulang, padahal lomba akan diadakan beberapa hari lagi. Aku jadi risau, jangan-jangan bapak…

***
            H-3. Pak Marin datang dengan membawa segelas teh manis ditangannya, ia sudah siap untuk kembali melihat anak-anaknya latihan. Pak Marin duduk ditempat guru serta menyapu pandangan kami secara bergantian, lalu ia menghembuskan nafas yang terasa berat. Ada yang aneh dengan tatapan Pak Marin, begitu penuh harapan, kepercayaan, dan … Ahh begitu misterius kurasa.
            “Hari ini pertama kalinya bapak akan mengetes kalian semua, bapak rasa bekal kalian sudah cukup untuk mengikuti lomba nanti” ucap pak Marin.
            “Namun bapak tekankan agar kalian bertawadhu, jangan jadikan ajang perlombaan ini sebagai sarana kalian menyombongkan diri. Bapak tidak mau murid bapak kepalanya tidak masuk helm” ucap pak Marin tegas.
            Kami bingung, melamun sesaat.
            “Iya kan kata lain sombong itu besar kepala” lanjutnya.
            Kami semua serentak tertawa dengan candaan Pak Marin yang penuh nasehat itu.
            “Amar, kau itu jenius, bapak yakin kau bakal jadi professor yang handal!! Seli, kau juga apik, kau teliti dalam segala hal, kau bertalenta untuk menjadi Insinyur!! Dan kau si pelangi, Ahh bapak yakin sekali kau dapat menjadi pelangi” ucap Pak Marin dengan senyum nan tegas.
            Sampai saat ini aku tak mengerti apa yang diucapkan pak Marin, mungkin aku terlalu kecil untuk mengetahuinya. Namun nasehat itu begitu membekas dihati kami, laksana api yang disembur oleh bensin, menjadikan semangat kami membara dengan cepat.
            Namun setelah Pak Marin mengucapkan nasehat itu, ia langsung tersungkur jatuh, gelasnya tumpah, tubuhnya menghantam pasir kelas. Kami serentak kaget, dan langsung loncat kearah Pak Marin.
            Amar langsung memeriksa denyut nadi Pak Marin, membuka matanya dan hal-hal lain yang menjadi pemeriksaan awal seorang dokter, disaat-saat seperti ini ilmu biologinya mungkin sangat bermanfaat. Aku hanya bisa diam, panik, tak tahu harus apa, apalagi Seli yang dari tadi sudah menangis. kami hanya menunggu hasil pemeriksaan Amar.
            Amar mengangguk, Pak Marin hanya pingsan, kita harus cepat membawanya ke rumah Kepala Desa. Kami pun langsung menggotong Pak Marin kerumah Kepala Desa, serta mendapat bantuan dari warga saat dijalan. Menurut diagnosis Amar Pak Marin terkena serangan jantung, entah bagaimana ia mengetahuinya.
            Hari terus berlalu, Lomba semakin dekat, tinggal 2 hari lagi, sedangkan kami bertiga cemas, cemas bukan karena lomba, namun cemas karena kondisi kesehatan Pak Marin, menurut pak RW, Pak Marin langsung dibawa ke Rumah Sakit di kota untuk penanganan yang lebih lanjut.
            Hari ini sebenarnya ada kabar gembira, yaitu bapak pulang kerumah, dengan hasil tangkapan ikan yang banyak. Seharusnya aku gembira bapak bisa menonton, tapi entah kenapa aku sedih.
            Esoknya kami berangkat ke kota untuk lomba, kami akan menginap disana. Kami diantar menggunakan mobil milik Kepala Desa, tanpa ditemani Pak Marin.
            Kami mengikuti lomba begitu mengesankan, Bapak Walikota yang hadir pun terkagum-kagum dengan kepintaran kami, begitupun dengan penonton yang hadir, selalu menepukan tangannya ketika kami menjawab. Sejauh ini kami bertiga bisa diandalkan, ketika pertanyaan tentang makhluk hidup, kak Amar dengan secepat kilat bisa menjawabnya.
            Begitupun kak Seli, ketika ada pertanyaan tentang hitung-menghitung dia dengan secepat kilat langsung menjawabnya, bahkan saat tim lain sedang menghitung sekalipun. Hebat bukan?
Bagaimana dengan aku? Ahh kawan, Pak Marin memang benar, aku adalah pelangi di tim ini, Aku selalu bisa menjawab ketika kedua kakak kelasku itu termangu tak bisa menjawab. Seperti pertanyaan rebutan tentang ensikolpedia.
“Coba sebutkan tokoh yang sengaja meruntuhkan kerajaan Turki Utsmani!!” ucap juri dengan lantang. Kak Amar, dan Kak Seli tak tahu jawabannya, mereka memang tidak ahli terhadap hal seperti itu. Aku sontak memencet bel dan menjawab “Muhammad.. eh.. Muhammad Kumal Attarturk” sontan seluruh orang yang ada disana tertawa. Aku memang sedikit lupa tentang namanya. Aku harusnya menjawab Kemal, bukanya Kumal. “Bagus bang, kau bisa mencairkan ketegangan kami dengan leluconmu” kata kak Amar sembari menepuk punggungku. Wajahku merah seketika.
 Dan sesuai yang kami harapkan, akhirnya kami menjuarai cerdas cermat tingkat kota itu, dengan disertai do’a kawan-kawan di desa, teknik belajar Pak Marin yang hebat, serta Ibu yang selalu mendukung.
Akupun sontak memeluk kedua orang tuaku yang hadir disaat itu saat pengumuman juara berlangsung, mereka begitu bangga, begitupun pak RW, kepala desa, Walikota.
Hari itu menjadi hari bahagia bagi kita semua,
Kamipun pulang dengan membawa piala besar dan bermacam-macam hadiah. Kami diarak mengelilingi desa. Pesta kecil-kecilan pun tak luput dilaksanakan.
Tak lama setelah itu, Pak Kepala Desa mengajak kami ke rumahnya untuk memberitahu kepada kami bertiga sesuatu secara pribadi. Ia mengatakan sesuatu itu dengan suara yang parau, serta mata yang selalu tunduk.
“Pak Marin meninggal” hanya itu yang ia ucapkan. Kalimat pendek yang membuat kepalaku berputar, membuat pikiranku melayang-layang. Kami  mendapat kabar Pak Marin meninggal dunia.
 Setelah saat kalian diumumkan sebagai juara, Pak Marin tutup usia. Bapak merahasiakan dulu hal ini sampai pesta selesai, bapak ingin agar kalian bisa bahagia terlebih dahulu, dan kau tau kata-kata terakhir yang Pak Marin ucapkan untukmu Bambang? “Bambang, kau sudah menjadi pelangi dimataku.. kau sudah menjadi pelangi nak!!” Beliau mengatakan itu sembari meneteskan air mata dan tersenyum.
Kami pun termanggu, dan sedikit demi sedikit meneteskan air mata. Mencoba menerima kenyataan.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Islam di Andalusia

A.     Proses Masuknya Islam ke Andalusia Pemerintahan Islam yang pertama kali menduduki Spanyol adalah Khalifah dari Bani Umayyah ya...

Popular Posts

Label

Recent Posts