Pemikiran Kalam Harun Nasution



Oleh : Mifathul Haq

A.           Riwayat Hidup Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada hari selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Beliau adalah putra dari Abdul Jabar Ahmad, seorang peadgang asal Mandailing dan Qodbhi (Penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di kabupaten Simalungun, Pematang Siantar. Harun berasal dari keturunan yang taat beragama, keturunan orang terpandang, dan mempunyai strata yang lumayan. Kondisi keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar melanjutkan cita-citanya mendalami ilmu pengetahuan. Ayahnya seorang ulama yang menguasai kitab kitab Jawi dan suka membaca kitab kuning berbahasa melayu. Ibunya seorang boru Mandailing Tapanuli, Maemunah keturunan seorang ulama, pernah bermukim di Mekkah dan mengikuti kegiatan di Masjidil Haram

Harun memulai pendidikannya disekolah Belanda, Holandsch Inlandche School (HIS) ketika berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, ia belajar Belanda  dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu, dia berada dalam lingkungan berdisiplin ketat. Di lingkungan memulai pendidikannya dari lingkungan keluarganya dengan mengaji, shalat dan ibadah lainnya. Setelah tamat HIS, Harun merencanakan sekolah ke MULO. Akan tetapi orang tuanya tidak merestui, karena menganggap pengetahuan umum  Harun sudah cukup dengan sekolah di HIS. Akhirnya Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern, yaitu Moderne Islamietische Kweekschool (MIK), semacam MULO di Bukitinggi tahun1934. Setelah sekolah di MIK , sikap kegamaan Harun mulai berbeda dengan sikap keberagamaan, yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk lingkungan kampungnya. Atas desakan orang tuanya, ia meninggalkan MIK dan pergi belajar ke Saudi Arabia. Di negeri gurun pasir itu, Harun tidak lama dengan memohon kepada orang tuanya agar mengizinkannya untuk melanjutkasn studi ke Mesir. Di Mesir dia memulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, namun beliau tidak puas dan pindah ke Universitas Amerika di Kairo. Di universitas itu, Harun bukan mendalami hukum-hukum islam melainkan mendalami ilmu pendidikan dan ilmu sosial. Setelah tamat dari Universitas Kairo dengan ijazah B.A., Harun bekerja di perusahan swasta dan kemudian di konsulat Indonesia Kairo. Dari konsulat itulah putra Batak yang mempersunting gadis Mesir (bernama Sayedah) ini, memulai diplomatiknya. Dari mesir, Harun ditarik ke Jakarta bekerja sebagai pegawai Departemen Dalam Negeri  dan kemudian menjabat sebagai sekretaris pada kedutaan besar Insonesia di Brussel. Situasi politik dalam negeri Indonesia pada dekade 60-an membuat Harun mengundurkan diri dari karir diplomatik dan pulang kembali ke Mesir. Di Mesir, Harun mulai menggeluti dunia Ilmu pengetahuan di Sekolah Tinggi Studi Islam dibawah bimbingan seorang ulama fiqih Mesir terkemuka, Abu Zahrah. Ketika itu, Harun mendapatkan tawaran mengambil studi Islam di Universitas McGill, Kanada. Pada tingkat Magister, Harun menulis tentang “Pemikiran Negara Islam di Indonesia”, sedang untuk disertasi Ph.D, Harun menulis tentang “posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh”.

Harun Nasution merupakan putra Indonesia pertama yang mencapai gelar doktor pada Islamic Studies di McGill University Montreal pada tahun 1968. Setelah meraih gelar doktor, Harun kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada perkembangan pemikiran Islam lewat IAIN yang ada di Indonesia. Harun Nasution menjadi menjadi Rektor IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk dua periode dan paling lama (1973-1978 dan 1978-1984). Kemudian dengan berdirinya pasca sarjana, Harun menjabat sebagai Direktur program pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai meninggal dunia (1988), di usianya kurang lebih 79 tahun. Karya Harun Nasution semuanya menjadi buku teks terutama dilingkungan IAIN  yaitu: Teologi Islam (1972), Islam Ditinjau dari Berhagai Aspeknya (1974) 2 jilid, Filsafat Agama (1978), Filsafat dan mistisisme dalam Islam (1978), Aliran Modern dalam Islam (1980), dan Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah (1987).


 

 

B.     Pokok Pemikiran Tauhid Harun Nasution

1.      Peranan Akal

Peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menetukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian, “akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akal lah, manusia mempunyai  kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemahnya kekuatan akal manusia, bertambah rendah pula kesanggupannya menghadapi kekuatan- kekuatan lain tersebut.

 

2.      Hubungan wahyu dan akal.

Dalam hal hubungan akal dan wahyu, sebagaimana pemikiran ulama Muktazillah terdahulu Harun Nasution berpendapat bahwa akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan. Dengan demikian kita tidaklah heran kalau Sirajudin Abbasc berpendapat bahwa Kaum Mu’tazilah banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist. Hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam  Al-Quran. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.  Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menetang wahyu.

 

3.      Pembaharuan Teologi

Asumsinya bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam di Indonesia juga di mana saja disebabkan  ada yang salah dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan kaum modernis  pendahulunya seperti M.Abduh, Rasyid Ridha, Al-Afghani dan lainnya yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam sejati. Yang bersifat rasional, berwatak free-will, dan mandiri serta lepas dari fatalistik dan irasional.

 

4.      Baik dan Buruk menurut pertimbangan akal.

Bertumbuh besar yang diberikan kepada wahyu oleh suatu aliran, bertambah kecil daya akal dalam aliran itu, oleh karena itu di dalam sistem teologi, yang memberikan daya besar kepada akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan, tetapi dalam sistem teologi yang memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia dipandang lemah dan tidak merdeka. Akal dan wahyu sebagai sumber pengetahuan manusia dapat dijelaskan sebagai berikut: akal untuk memperoleh pengetahuan. Dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh pancaindra sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan.

Mengenai pemakaian akal, aliran Mu’tazilah memberikan daya yang besar kepada akal. Aliran Maturidiyah Samarkand memberikan daya kurang besar dari Mu’tazilah, tapi lebih besar dari pada Maturidiyah Bukhara, sementara itu, aliran Asy’ariyah memberikan daya terkecil kepada akal. Menurut kaum Mu’tazilah, tidak sama yang baik dapat diketahui oleh akal. Untuk mengetahui hal itu, memperlakukan pertolongan wahyu. Oleh karena itu, Abdul Jabar membagi perbuatan-perbuatan kepada beberapa bagian yaitu : a) Munakir aqliyah (perbuatan yang dicela akal) contoh: tidak adil dan berbuat dusta. b) Munakir syar’iah (perbuatan yang dicela oleh sayar’iat atau wahyu) seperti: mencuri, berzina, minum-minuman keras. Dengan demikan, wahyu menurut kaum Mu’tazilah mempunyai konfirmasi dan informasi.



Daftar Pustaka

 

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta:UI-press

Suntiah, Ratu dan Maslani, 2014. Ilmu Tauhid, Bandung: Interes Media.                   

Suntiah, Ratu dan Maslani, 2018. Ilmu Kalam, Bandung: CV Armico.           

Karman, M & Supoana. 2009. Materi pendidikan agama islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Abduh, Muhammad. 1965. Risalah Tauhid. Jakarta:Bulan Bintang.

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 1986).

Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (PT. Bulan Bintang. Jakarta. 1973).

Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah. (Universitas Indonesia (UI Prees). Jakarta. 1987).

Muzani, Syaiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. (Mizan. Bandung. 1995).

Halim, Abdul. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution. (Ciputat. Jakarta. 2001).

https://maktabahmahasiswa.blogspot.com/2019/03/makalah-ilmu-kalam-harun-nasution-dan-h.html

http://makalahkuindonesia.blogspot.com/2017/12/makalah-tauhid-imlu-kalam-pemikiran.html

https://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-prof-dr-harun-nasution/

 

 


Share:

Pengertian, Materi, Sumber, serta Hubungan Tasawuf dengan IIlmu Lain



A.   Pengertian Tasawuf

Dalam relitanya Tasawuf memiliki banyak sekali pengertian, bahkan ada yang menyebutkan ada seribu pengertian. Terlepas dari hal tersebut, ada beberapa pengertian yang cukup komprehensif.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Tasawuf ialah ajaran untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya.[1]
Secara lughawi  etimologis  (kebahasaan) sebagian ada yang berpendapat kata tasawuf  atau sufi diambil dari kata shaff, yang berarti saf atau baris. Dikatakan demikian, karena sufi sefalu berada pada baris pertama dalam shalat. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata shafa yang berarti bersih. Karena hatinya selalu dihadapkan ke hadirat Allah Swt., dan bentuk Jama' (plural)-nya adalah shaffi, bukan shufi  Ada lagi yang mengatakan, berasal dari kata shujfah atau shujfat al-masjid, serambi masjid. Tempat ini didiami oleh para sahabat Nabi yang tidak punya tempat tinggal. Mereka selalu berdakwah dan berjihad demi Allah semata. [2]
Dikatakan sufi, karena senantiasa menunjukkan perilaku sebagaimana para sahabat pada masa Nabi Saw. tersebut. Di samping itu, masih ada lagi yang berpendapat, bahwa kata sufi merupakan kata jadian dari shuf, yang berarti bulu domba. Dikatakan demikian, karena para sufi suka memakai pakaian kasar, tidak suka pakaian halus dan bagus, yang penting bisa menutupi dari ketelanjangan. Ini dilakukan sebagai tanda taubat dan kehendaknya untuk meninggalkan kehidupan duniawi.[3]
Ada lagi yang berpendapat, kata sufi berasal dari kata sop hos (bahasa Yunani) yang berarti hikmah (kebijaksanaan). Dikatakan demikian, karena sufi selalu menekankan kebijaksanaan. Huruf  's' pada kata sop hos itu ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab menjadi shad dan bukan sin sebagaimana tampak pada kata philosophi yang ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab menjadi falsafah. Akan tetapi, dari semua istilah tasawuf yang dikemukakan di atas, Al-Qusyairi menganggap hanya merupakan laqab (sebutan). Oleh karena dari semua asal kata tersebut tidak ada yang cocok dari sisi analogi atau asal-usul bahasa Arab.[4]
            Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi bahwa tasawuf adalah ilmu yang menerangkan tentang keadaan-keadaan jiwa (nafs) yang dengannya diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, jalan menuju Allah, dan meninggalkan (larangan-larangan) Allah menuju (perintah-perintah) Allah SWT.[5]
            Dengan demikian tasawuf atau sufisme adalah suatu istilah yang lazim dipergunakan untuk mistisisme dalam Islam dengan tujuan pokok memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Dalam hal ini pokokpokok ajarannya tersirat dari Nabi Muhammad SAW yang didiskusikan dengan para sahabatnya tentang apa-apa yang diperolehnya dari Malaikat Jibril berkenaan dengan pokok-pokok ajaran Islam yakni: iman, islam, dan ihsan. Ketiga sendi ini diimplementasikan dalam pelaksanaan tasawuf.[6]

B.   Sumber Tasawuf
            Banyak perbedaan pendapat mengenai sumber Tasawuf ini. Ada yang menyebutkan sumber Tasawuf itu berasal dari Yunani, Persia, Hindu, Budha, dan Kristen. Namun tentunya jika disebutkan bahwa Tasawuf bersinggungan dengan Yunani, Persia, Hindu, Budha dan Kristen maka bisa dikatakan benar.
            RA. Nicholson dalam Syamsun Ni’am menyebutkan "Semua pikiran yang dipandang sebagai unsur-unsur luar yang merembes dalam kalangan kaum Muslimin ataupun hasil kebudayaan asing yang non-Islam, sebenarnya muncul dari asketisisme maupun tasawuf yang tumbuh dalam Islam sendiri, yang keduanya benar-benar bercorak Islam".[7]
            Selain itu ada beberapa orientalis-orientalis yang menyatakan bahwa sumber ajaran Tasawuf itu murni dari Islam. seperti Louis Massignon dan J. Spencer Trimingham.
            Sementara Trimingham dalam bukunya, The Sufi Orders in Islam, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsun Ni’am mengatakan:
"Tasawuf berkembang secara wajar dalam batas-batas Islam. Sekalipun ia memang menerima pancaran kehidupan dan pemikiran asketisisme Kristen Timur, namun para sufi itu tidak mengadakan kontak-kecuali sedikit sekali-dengan sumber-sumber yang bukan Islam. Bahkan, lebih-lebih lagi, suatu sistem mistis yang berkembang luas justru telah terdapat dalam Islam. Bagaimana pun utang budinya pada NeoPlatonisme, gnostisisme, atau mistisisme Kristen, tidak boleh tidak, kita harus meninjaunya secara benar, seperti tinjauan para sufi sendiri, bahwa tasawuf adalah teori batin (moral) Islam dan rahasianya justru terkandung dalam Al-Quran'' .[8]
            Maka dari itu jelaslah bahwa Sumber ajaran Tasawuf itu berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah serta Amalan para Sahabat, yang mana amalan para Sahabat tersebut tidak akan keluar dari runag lingkup Qur’an Sunnah. Dari Al-Qur’an dan Sunnah inilah para sufi mendasarkan pendapat-pendapat mereka, melakukan praktek ruhaniah mereka serta juga latihan-latihan mistiknya.

C.   Materi Tasawuf
Dalam disiplin ilmu Tasawuf, ada beberapa hal yang harus dipelajari dalam Tasawuf ini. Adapun materi-materi tersebut ialah :[9]
1.      Syari’at
Menurut kaum sufi Syari’ah itu kumpulan lambang yangmemiliki makna tersembunyi. Shalat misalnya, bagi akum sufi bukanlahsekedar sejumlah gerakan dan kata-kata, tetapi lebih dari itu merupakanpercakapan spiritual antara makhluk dengan khaliq. Demikian juga ibadah lain seperti hajji.
2.      Thariqot
Untuk mencapai tujuan tertentu memerlukan jalan dan cara. Tanpa mengetahui jalannya, tentu sulit untuk mencapai maksud dan tujuan. Hal ini dinamakan thariqat, dari segi persamaan katanya berarti “madzhab” yang artinya “jalan”. Mengetahui adanya jalan perlu pula mengetahui “cara” melintas jalan agar tujuan tidak tersesat.
3.      Hakikat
Hakikat dapat didefinisikan sebagai kesaksian akan kehadiran peran serta ke-Tuhan-an dalam setiap sisi kehidupan. Hakikat adalah kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya serta yang disembunyikan dan ditampakkannya. Selanjutnya dikatakan hakikat bersumber dominasi kreativitas Al-Haq. Ismail Nawawi mengutip Ustadz Ali Ad-Daqaq bahwa surat al-Fatihah ayat 4, ”Hanya pada-Mu kami menyembah” merupakan manifestasi dari syari’at. Sedangkan surat al-Fatihah ayat 5, ”Hanya kepada-Mu kami memohon” merupakan jelmaan pengakuan penetapan hakikat.
4.      Ma’rifat
Kata ma’rifat berasal dari kata ‘arafa yang artinya mengenal dan paham. Ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari. Pengetahuan ini diperoleh dengan kesungguhan dan usaha kerja keras, sehingga mencapai puncak dari tujuan seorang Salik. Hal ini dicapai dengan sinar Allah, hidayah-Nya, Qudrat dan Iradat-Nya.
5.      Maqamat
Maqamat adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam pandangan Ath-Thusi sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar dan M. Alfatih bahwa maqamat adalah kedudukan hamba (salik) dalam perjalanannya menuju Allah SWT melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan (al-mujahadat), dan latihan-latihan rohani (ar-Riyadhah).
6.      Ahwal
Yang dinamakan hal adalah apa yang didapatkan orang tanpa dicari (hibah dari Allah SWT). Sedangkan dalam maqamat didapatkan dengan dicari (diusahakan). Dengan kata lain hal itu bukan usaha manusia, tetapi anugerah Allah setelah seorang berjuang dan berusaha melewati maqam tasawuf.
7.      Takhali, Tahali, Tajali
Takhalli ialah membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela, kotor hati, ma’syiat lahir dan ma’syiat batin. Pembersihan ini dalam rangka, melepaskan diri dari perangai yang tidak baik, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Sifat-sifat tercela ini merupakan pengganggu dan penghalang utama manusia dalam berhubungan dengan Allah. Tahalli merupakan pengisian diri dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan batin. Hati yang demikian ini dapat menerima pancaran Nurullah dengan mudah. Oleh karenanya segala  perbuatan dan tindakannya selalu berdasarkan dengan niat yang ikhlas (suci dari riya). Dan amal ibadahnya itu tidak lain kecuali mencari ridha Allah SWT. Untuk itulah manusia seperti ini bisa mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Maka dari itu, Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan perlindungan kepadanya.
Yang dimaksud dengan Tajalli adalah merasakan akan rasa ketuhanan yang sampai mencapai sifat muraqabah. Dalam keterangan lain disebutkan bahwa tajalli merupakan barang yang dibukakan bagi hati seseorang tentang beberapa Nur yang datang dari ghoib. Tajalli ada empat tingkatan, yaitu :60 tajalli af’al, tajalli asma, tajalli sifat, dan tajalli zat.
8.      Riyadhah
Riyadhah adalah latihan-latihan fisik dan jiwa dalam rangka melawan getaran hawa nafsu dengan melakukan puasa, khalwat, bangun di tengah malam (qiyamullail), berdzikir, tidak banyak bicara, dan beribadah secara terus menerus untuk penyempurnaan diri secara konsisten. Semua kondisi puncak kebahagiaan, puncak penderitaan, puncak kegembiraan, dan puncak kesedihan merupakan wujud dari riyadhoh. Manusia mempersiapkan diri dengan berbagai latihan-latihan jiwa untuk kesucian batin.
9.      Muqorobah
Secara bahasa Muqarabah berarti saling berdekatan (binammusyarakah) dari kata-kata qooraba-yuqooribu-muqoorobah. Dalam pengertian ini, maksudnya adalah usaha-usaha seorang hamba untuk selalu berdekatan dengan Allah SWT, yakni saling berdekatan antara hamba dan Tuhannya.
10.  Muroqobah
Muraqabah dalam makna harfiah berarti awas mengawasi atau saling mengawasi (dalam Ilmu Shorof dalam kategori bina musyarokah). Secara bahasa muraqabah mengandung makna senantiasa mengamatamati tujuan atau menantikan sesuatu dengan penuh perhatian (mawas diri). Sedangkan menurut terminologi berarti melestarikan pengamatan kepada Allah SWT dengan hatinya dalam arti terus menerus kesadaran seorang hamba atas pengawasan Allah SWT terhadap semua keadaannya. Sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya dengan penuh perasaan (melekat) kepada Allah SWT.
11.  Fana dan Baqa
Fana dalam istilah Ilmu Tasawuf adalah suatu tingkatan pengalaman spiritual sufi yang tertinggi menjelang ke tingkat ittihad, yakni hilangnya kesadaran tentang dirinya dari seluruh makhluk dan hanya ditujukan kepada Allah semata,99 serta yang ada hanya Allah SWT. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya sifat-sifat Basyariyah maka yang kekal adalah sifat-sifat Ilahiyah. Fana dan baqa datang beriringan. Ini merupakan pengalaman mistik tentang substansi atau kehidupan bersama dengan Tuhan setelah terjadi fana dalam diri sufi
12.  Ittihad
Ittihad merupakan lanjutan yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana dan baqa. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu; baik substansi maupun perbuatannya.
13.  Mahabbah
mahabbahmerupakan keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi kepada yang lain atau ada perhatian khusus, sehingga menimbulkan usaha untuk memiliki dan bersatu dengannya, sekalipun dengan pengorbanan. Dengan demikian dapat dikatakan, Mahabbah adalah perasaan cinta yang mendalam secara ruhaniah kepada Allah. Figur sufiyah tentang mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah
14.  Al-Hulul
Hulul berasal dari kata halla-yahillu-hulul, mengandung makna menempati, tinggal di, atau bertempat di.165 Sedangkan dalam makna istilah hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuhtubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat (bersemayam) di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan
15.  Wahdatul Wujud
Secara etimologi, wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat dan al-Wujud. Wahdat artinya adalah penyatuan, satu, atau sendiri, sedangkan al-wujud artinya ada (eksistens).
16.  Insan Kamil
Insan Kamil berasal dari gabungan dua kata bahasa Arab, insane dan kamil. Insan berarti manusia, kamil berarti sempurna. Jadi secara bahasa insan kamil mengandung makna manusia sempurna (Perfect Man), yakni manusia yang dekat (qarib dengan Allah) dan terbina potensi ruhaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Inilah manusia seutuhnya yang mempunyai ketinggian derajat di hadapan Tuhannya, sehingga mencapai tingkat kesempurnaan tauhid dan akhlak mulya.
17.  Waliyullah

Waliyullah merupakan gabungan dari lafadz “wali” dan “Allah”. Kata “wali” adalah bentuk mufrad (singular), sedangkan bentuk jamak-nya (plural) adalah “awliya”. Wali Allah artinya kekasih Allah. Jadi bentuk jamak-nya awliya Allah (para kekasih Allah).


D.   Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Lain

Dalam eksistensinya, Tasawuf tentu saja selalu bersinggungan dengan ilmu lain. Ada beberapa Ilmu yang berhubungan dengan Tasawuf, diantaranya :[10]

1.      Hubungan Tasawuf dengan Filsafat
Tasawuf dan filsafat-sebenarnya dapat dipertemukan, saling mengisi dan memengaruhi. Sebab, sepanjang sejarah kajian filsafat Islam dan tasawuf, telah banyak ditemukan persinggungan dua kutub tadi-filsafat dan tasawuf. Bentuk-bentuk hubungan tersebut misalnya dapat dilihat  dari pertentangan satu sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-karya Al-Ghazali bersaudara, Abu Hamid, dan Ahmad. Juga penyair sufi besar seperti Sana'i, Fariduddin Athar, dan Jalaluddin Rumi. Kelompok sufi terakhir memang terkesan hanya memerhatikan aspek rasional dari filsafat, dan setiap kali berbicara tentang intelek, mereka tidak mengartikan inteleki dalam arti mutlaknya, tetapi mengacu kepada aspek rasional intelek (akal). Athar dalam memahami filsafat juga terkesan cenderung kepada filsafat peripatetic yang rasionalistik, dan :tnenekankan bahwa hal itu tidak boleh dikelirukan dengan mistri ilahiah dan pengetahuan ilahiah, yang merupakan usaha puncak pensucian jiwa di bawah bimbingan spiritual para guru sufi. lntelek tidak sama dengan hadis Nabi dan filsafat tidak sama dengan teosofi (hikmah) dalam makna Quraninya.
Kitab Matsnawi Rumi adalah sebuah Master Piece filsafat. Akan tetapi, baik kelompok Al-Ghazali (Abu Hamid-Ahmad) dan Sanii, Athar, dan Rumi, adalah sama-sama dikenal tokoh sufi par-excellent pada masanya, bahkan dikenang hingga kini. Walaupun jalan yang ditempuhnya adalah berbeda, puncak pencarian Tuhan, akhirnya juga berada pada titik dan tujuan yang sama, yaitu bertemunya dengan Tuhan Yang Maha Mudak, Allah Swt.

2.      Hubungan Tasawuf dengan Fikih
Misalnya pada pembahasan tentang shalat. Menurut ilmu fikih, shalat hams mengikuti syarat, rukun, sah, dan wajibnya. Jika ketentuan tersebut tidak dilakukan dengan baik, shalatnya dianggap tidak sah. Sebaliknya, jika ketentuan-ketentuan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, shalatnya dianggap sah. Persoalannya adalah apakah cukup shalat dengan hanya memenuhi syarat, rukun, sah dan tidaknya shalat tersebut; sementara tidak dibarengi dengan suasana keruhanian mendalam akan berhadapan dengan Tuhan? Ilmu fikih tidak akan dapat menjawabnya, dan yang dapat menyelesaikan adalah ilmu tasawuf. Sebab, tasawuf berbicara tentang bagaimana sesorang bisa khusyuk, ikhlas, dan cara berkomunikasi dan berkontemplasi dengan Tuhan secara baik. Di sinilah lagi-lagi kerja sama yang baik antara ilmu fikih dan tasawuf sangat diperlukan.



[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia vol. 5
[2] Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, hal. 24-25
[3] Idem
[4] Idem
[5] Badrudin, Pengantar Tasawuf,  hal. 1-2
[6] Badrudin, Pengantar Tasawuf,  hal. 2
[7] Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, hal. 61
[8] Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, hal. 62
[9] Badrudinn, Pengantar Tasawuf, hal. 33-101
[10] Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, hal. 90-101

Share:

Islam di Andalusia



A.    Proses Masuknya Islam ke Andalusia
Pemerintahan Islam yang pertama kali menduduki Spanyol adalah Khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus (Salwasalsabila, 2008: 21). Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayyah. Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di zaman Khalifah Abd Malik (685-705 M). Khalifah Abd Malik mengangkat Ibnu Nu’man al Ghassani menjadi gubernur di daerah itu. Pada masa Khalifah al Walid (705-715 M), Hasan Ibnu Nu’man sudah digantikan oleh Musa Ibnu Nushair. Di saat al Walid berkuasa, Musa Ibnu Nushair sukses memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki daerah Aljazair dan Maroko. Selain itu, ia juga menyempurnakan penaklukan ke berbagai wilayah bekas kekuasaan Bangsa Barbar di sejumlah pegunungan sehingga mereka menyatakan loyal dan berjanji tidak akan membuat kekacauan seperti yang telah mereka lakukan sebelumnya.
Penaklukan wilayah Afrika Utara hingga menjadi salah satu propinsi dari Khalifah Bani Umayyah membutuhkan waktu selama 53 tahun, sejak tahun 30 H (masa pemerintahan Muawiyah Ibnu Abi Sofyan) sampai tahun 83 H (masa al Walid). Sebelum dikalahkan dan kemudian dikuasai Islam, kawasan itu merupakan basis kekuasaan Kerajaan Romawi, yaitu Kerajaan Gothik. Kerajaan ini seringkali mendatangi penduduk dan mendorong mereka untuk membuat kerusuhan dan menentang kekuasaan Islam. Setelah kawasan ini dapat dikuasai secara total, umat Islam mulai memusatkan perhatiannya untuk menaklukkan Spanyol. Dari sini dapat diketahui bahwa penaklukan Afrika Utara adalah batu loncatan bagi kaum Muslimin untuk menguasai wilayah Spanyol (Syalabi, 1995: 156). Dalam sejarah penguasaan Spanyol, ada tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa dalam proses penaklukan Spanyol. Mereka adalah Tharif Ibnu Malik, Thariq Ibnu Ziyad, dan Musa ibn Ibnu Nushair. Tharif dinilai sebagai perintis dan penyelidik wilayah Spanyol karena ia merupakan orang pertama yang sukses menyeberangi selat antara Maroko dan Benua Eropa. Ia pergi bersama satu pasukan perang berjumlah lima ratus orang dengan menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian. Dalam penyerbuan itu, Tharif menang dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang banyak jumlahnya. Termotivasi oleh keberhasilan Tharif dan krisis kekuasaan dalam kerajaan Gothic yang menguasai Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar untuk memperoleh harta rampasan perang, pada tahun 711 M Musa Ibnu Nushair mengirim pasukan sebanyak 7000 orang ke Spanyol di bawah pimpinan Thariq Ibnu Ziyad (Hitti, 2005: 628).
Thariq Ibnu Ziyad lebih terkenal sebagai penakluk Spanyol sebab jumlah pasukannya lebih besar dan efeknya pun lebih nyata (Syalabi, 1995: 159-1960; Hill, 1996: 10). Pasukannya terdiri dari sebagian besar suku Barbar yang didukung oleh Musa Ibnu Nushair dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim Khalifah al Walid (Yatim, 1994:86). Orang Barbar merupakan suatu bangsa yang masih mempunyai pertalian keturunan dengan Bangsa Hamiyah, suatu cabang dari bangsa kulit putih dan dalam masa pra sejarah mungkin berasal dari Bangsa Samyah. Kebanyakan orang Barbar (Berber) yang mendiami daerah pesisir beragama Kristen. Orang terkemuka dalam agama Kristen tua, seperti Tertullianus, Santa Cyprianus, dan terutama Santa Augustinus berasal dari negeri ini (Hitti, 2005: 83). Pasukan itu kemudian menyeberangi Selat di bawah pimpinan Thariq Ibnu Ziyad. Gunung tempat pertama kali Thariq dan pasukannya mendarat dan menyiapkan pasukannya hingga kini dapat dikenang dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, ada pula yang menyebutnya Lakkah (Wadil Lakkah atau Goddelete), tepatnya tanggal 19 Juli 711 M, Thariq berhasil mengalahkan Raja Roderick. Selanjutnya, Thariq dan pasukannya terus menaklukkan kota-kota penting di sana, seperti Cordova, Granada, dan Toledo. Ia pun sempat meminta tambahan pasukan kepada Musa Ibnu Nushair di Afrika Utara. Musa mengirimkan tambahan pasukan sebanyak 5000 tentara, sehingga jumlah pasukan Thariq seluruhnya 12.000 orang. Jumlah ini belum sebanding dengan pasukan Bangsa Gothic itu yang jauh lebih besar, 100.000 orang (Yatim, 1994: 86). Kekalahan pasukan Roderick, menurut Syalabi, disebabkan karena pasukannya itu terdiri dari para hamba sahaya dan orang-orang lemah. Selain itu, di antara mereka ada pula musuh-musuh Roderick. Ditambah lagi, orang-orang Yahudi secara rahasia juga mengadakan persekutuan dengan kaum Muslimin (Syalabi, 1995: 159-1960). Kemenangan pertama yang diperoleh Thariq Ibnu Ziyad merupakan jalan lapang untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Untuk itu, Musa Ibnu Nushair merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran dengan maksud membantu perjuangan Thariq (Syalabi, 1995: 161-1962). Dengan suatu pasukan yang besar, ia berangkat menyeberangi selat itu. Satu demi satu kota yang dilewatinya berhasil dikuasai. Setelah Musa berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Gothic, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai Saragosa sampai Navarre (Yatim, 1994: 90).
Dari kisah penaklukan Spanyol di atas, dapat diketahui bahwa keberhasilan tiga pahlawan Islam: Tharif Ibnu Malik, Thariq Ibnu Ziyad, dan Musa Ibnu Nushair, tidak lepas dari semangat mereka melakukan ekspansi wilayah kekuasaan Islam pada waktu yang tepat. Di saat seluruh wilayah Afrika Utara sudah dikuasai dan kekuasaan kerajaan Gothic mulai melemah, lompatan berikutnya adalah penguasaan daerah Spanyol yang berada di seberang. Keberanian Tharif sebagai orang pertama yang menyeberang selat antara Maroko dan benua Eropa itu patut dihargai meskipun dalam ekspedisinya belum banyak melibatkan pasukan sehingga hasilnya belum kentara. Keberhasilan Tharif mendorong Thariq untuk mengadakan ekspedisi berikutnya dengan pasukan lebih besar. Hasil yang dicapai telah dicatat dalam sejarah sehingga membuat Thariq lebih layak dianggap sebagai penakluk Spanyol. Peran serta sang Gubernur Afrika Utara, Musa Ibnu Nushair, dalam penaklukan Spanyol memperkuat sekaligus melengkapi keberhasilan Thariq dalam upaya penguasaan Spanyol. Kerjasama satu tim dan keterlibatan aktif pimpinan pusat dan pelaksana lapangan telah membuahkan hasil maksimal dalam perluasan kekuasaan Islam ke Spanyol.[1]
Masa selanjutnya di Barat, peradaban Islam senantiasa mempersembahkan pengabdian dan kontribusinya di Andalusia berkat kebijakan salah seorang pemimpin dari Bani Umayyah bernama Abdurrahman Ad-Dakhil, yang mendapat julukan Shnqar Quraisy, yang berarti Elang kaum Quraisy. Ia mendapat kesempatan untuk melarikan diri pada masa kekhalifahan Abu ]a'far Al-Manshur ke wilayah Andalusia dan mendirikan pemerintahan Bani Umayyah di sana tahun 756 - 1031 M, yang mampu mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abdurrahman At-Tsani antara tahun 822-852 M. Tepatnya ketika ia menginstruksikan transformasi berbagai warisan pemikiran Yunani, Persia, dan India yang dikuasai Bani Abbasiyah ke Cordova dan menempatkan Andalusia sebagai pesaing utama pemerintahan Bani Abbasiyah dalam bidang kemakmuran, kemajuan peradaban dan ilmiah. Kemajuan ini merupakan nutrisi penting bagi kebangkitan bangsa Eropa modem hingga abad keenam belas Masehi [2]
Terdapat beberapa manuskrip bersejarah yang menjelaskan bahwa para Ilmuwan Barat yang mencapai popularitasnya pada saat itu seperti Roger Bacon, telah mendalami warisan para intelektual muslim dan mengembangkan pandangan-pandangan eskperimental mereka, yang diyakini sebagai nukleus utama bagi perkembangan ilmu dan teknologi pada masa modem. Bangsa Eropa sangat terlambat untuk mengakui keunggulan dan keteladanan bangsa Arab dan umat Islam ini dalam merumuskan metode ilmiah. Hingga kemudian datanglah pakar seiarah Prevolt yang dalam Banah Al-lnsaniyyah, mengatakan "Sesungguhnya Roger Bacon telah mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di akademi Oxford dari para gurunya dari Arab di Andalusia. Roger Bacon dan juga Francis Bacon yang datang sesudahnya tidak berhak mengklaim sebagai penemu metode eksperimen ini. Sebab Roger Bacon hanyalah salah satu delegasi ilmu dan metode ilmiah umat Islam ke Kristen Eropa. Ilmu merupakan persembahan paling berharga dari peradaban Arab kepada dunia modern.[3]
Al-Bairuni menceritakan bahwa setelah menyebarnya agama Islam dan menguatnya pondasi Islam di negara-negara jauh dan dekat, di mana Islam masuk ke negara India, China, Andalusia, Ethopia, Afrika, Turki, Sicilia, maka situasi dan kondisi berubah; keamanan menjadi stabil, hubungan-hubungan antara sesama semakin erat, memperoleh informasiinformasi berkaitan dengan tempat-tempat di berbagai penjuru bumi lebih mudah dan aman daripada sebelumnya.[4]


B.     Sistem Politik dan Pemerintahan di Andalusia[5]
Selama periode ini kelompok etnis berkuasa yang disebut dengan masa Muluk al-Thawaif. Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh Negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Muluk al-Thawaif, yang berpusat di suatu kota seperti Sevilla, Cordova, Toledo, dan sebagainya. Yang terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Sevila. Pada periode ini umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada diantara pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.
Perpecahan politik tersebut sakaligus mencerminkan perbedaan anggota militer pada masa kerajaan Abbadiyah yang kemudian melepaskan diri dari pemerintahan pusat, selain itu hal ini dapat juga dipahami sebagai ketidakharmonisan umat Islam di Sevilla, karena terlalu mengedepankan perbedaan etnik dan golongan masing-masing, disamping ambisi yang terlalu kuat dari masing-masing golongan untuk berkuasa di Sevilla, ditambah lagi dengan dihapuskannya jabatan Khalifah oleh dewan menteri yang semakin membuka peluang untuk perebutan kekuasaan, hingga berujung kepada tidak jelasnya peralihan kekuasaan.
Pemerintah pada periode ini diwarnai dengan berbagai peperangan antara golongan kerajaan yang kuat menyerang yang lemah sehingga untuk mempertahankan kekuasaannya ada sebagian golongan yang minta bantuan kepada non Muslim. Perpecahan politik di kalangan umat Islam ini menimbulkan hasrat orang-orang nasrani untuk merebut kembali daerah Sevilla, hal ini diwujudkan dengan berbagai serangan oleh pihak nasrani kepada pihak Islam. Pihak Nasrani yang diwakili oleh Alfonsovi berhasil merebut kota Toledo pada tahun 1805 M. dan serangan-serangan lain dilancarkan kepada daerah-daerah kekuasaan Islam lainnya. Al-Mu’tamad bin Ubbad salah seorang dari raja bani Ubbad meminta bantuan kepada Dinasti Murabithun di Afrika utara, yang pada saat itu dipimpin oleh Yusuf bin Tashifin. Yusuf datang bersama pasukan pada tahun ( 1806 M). dan bergabung dengan pasukan Al-Mu’tamid di daerah Zalaka dan berhasil mengalahkan pasukan Alfonso ke VI, walaupun kota Toledo tidak dapat direbutnya kembali sejak saat itu diambil alih oleh Dinasti Murabithun. Walaupun pada masa ini merupakan masa perpecahan tapi peradaban dan
seni dianggap memasuki masa kejayaanya, tetap memberikan dorongan kepada ilmuwan dan sastrawan untuk mengembangkan ilmunya bahkan mereka mendapat perlindungan dari kalangan penguasa. Bahkan para pemimpin setiap golongan berlomba-lomba untuk menyaingi kemajuan Cordoba sebagai pusat ilmu, sehingga pada masa tersebut bermunculan pusat-pusat peradaban baru yang lebih maju dari Cordova.
Setelah Islam mengalami kemunduran, Eropa bangkit dari keterbelakangan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi kemajuan dalam bidang politik. Kemajuan yang dicapai oleh Eropa ini tidak lepas dari peran penting dari permerintahan Islam di Sevilla. Pada masa keemasannya, Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang sangat penting, menyaingi Baghdad di Timur. Banyak orang – orang Eropa Kristen yang belajar di perguruan – perguruan tinggi Islam disana, sehingga Islam menjadi guru bagi orang Eropa.
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abd.Rahman III yang bergelar an-Nashir sampai munculnya raja-raja kelompok yang dikenal dengan sebutan Muluk al-Thawaif. Pada periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar Khalifah, penggunaan khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai kepada Abd. Rahman III, bahwa Muktadir, Khalifah Daulah Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilainnya, keadaan ini menunjukan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang tepat untuk memakai gelar Khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 158 tahun lebih. Karena itulah gelar ini dipakai mulai tahun ( 929 M). Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ini ada tiga orang yaitu Abd. Rahman an-Nashir ( 912-961 M), Hakam II ( 961-976 M), dan Hisyam II ( 976-1889 M).  Alfonso VI telah menyatukan imperium Asturias, Leon dan Castilla. Ia memandang perlu memanfaatkan kemelut raja-raja Klan sedang memanfaatkan diri pada Alffonso VI dengan memberi hadiah dan suap demi memperoleh perlindungan. Alfono VI menghimpun semua hadiah itu sehingga menjadi perbekalan untuk membinasakan mereka tanpa terasa. Senantiasa memanfaatkan setiap kesempatan untuk merebut kembali berbagai benteng dan kastil, satu demi satu dan tepat tahun (470 H/ 1806 M), ia melakukan penyerbuan hingga berhasil merebut Toledo, dan menyimpan pasukan garnisun sebanyak 120888 prajurit di benteng latih di pusat Andalusia. Dari benteng inilah pasukan keluar untuk melakukan penyerangan dan perampasan. Cerita lucu dalam sejarah adalah ketika oaring-oarang menghadang serbuan Bani Abbadiyah di Timur tahun ( 505 H/1198 M), dan yang memimpin penghadangan terhadap pasukan Bani Jauhar di Zaragosa adalah Yusuf bin Tasyifin tahun ( 479 H/ 1807 M), hanya saja keuntungan popularitas yang di raih Yusuf al-Ayyubi lebih tinggi, sebab ia lebih banyak di sebut dalam sejarah. Sementara Yusuf bin Tasyifin tidak memperoleh perhatian seperti itu, padahal ia orang yang menyelamatkan Andalusia dari kehancuran pada saat itu.
Ibnu Tasyifin melihat kemewahan dan perilaku berlebih-lebihan para raja, dan
kewajiban pajak yang di bebankan kepada rakyat, maka ia memerintahkan mereka untuk menghapus sebagian besar pajak. Namun seruannya hanya di respon oleh Ibnu Ubbad. Lebih dari itu, para raja itu telah memenuhi telinga ibnu Tasyifin mengetahui semuanya. Akhirnya, ia pun tidak percaya lagi kepada mereka semua. Raja-raja klan telah putus asa untuk bersatu. Lantas delegasi meeka berangkat ke Daulah Murabithun di Afrika utara menyampaikan undangan. Namun sebagian penasihat Ibnu Ubbad, Raja Sevilla dan Cordova, merasa takut denngan adanya undangan ini. Hanya saja raja menyuruh mereka diam sambil berujar, menjadi pengembala unta di padang pasir Afrika lebih baik dari menggembala babi di Castilla.
Al-Mutamid bin Ubbad adalah raja terakhir Bani Ubbad. Ia orang Arab penyair. Hanya saja , ia takluk di hadapan Alfonso, di mana ia membayar hadiah kepadanya sebagaimana raja lain. Hingga suartu hari Alfonso memohon izin kepadanya agar memperbolehkan istri Alfonso untuk melahirkan bayi di Masjid Jami’ Cordova berdasarkan fatwa seorang pendeta. Tentu saja hal ini membuat Ibnu Ubbad tidak bisa menahan emosinya, ia langsung membunuh pembawa surat itu karena tidak memiliki rasa malu. Ia memerintahkan agar tubuhnya di salib terbalik di Cordova. Ia juga menitahkan agar semua pasukan tawanan yang mengiringinya turut di bunuh.
Kabar pembunuhan ini sampai ke Alfonso. Ia pun bersumpah akan menyerang Sevilla. Untuk itu, ia mempersiapkan dua pasukan tentara, satu pasukan bergerak ke Toledo lalu Sevilla, dan pasukan lain di pimpin oleh Alfonso. Kemudian pasukannya bertemu dengan pasukan pertama. Alfonso bersama kedua pasukannya singgah bersama di depan istana Ibnu Ubbad di seberang tepi sungai Guadalquivir. Lantas Alfonso menulis surat kepada Ibnu Ubbad berisi olok-olok, Semakin lama aku diam di tempatku, semakin banyak lalat dan panas begitu menyengatku. Karena itu, persembahkanlah untuku kipas angin dari istanamu untuk mengipasi diriku dan mengusir lalat dari mukaku. Ibnu Ubbad menjawab surat ini dengan tulisannya langsung, Aku sudah membaca suratmu dan memahami keangkuhan dan kesombonganmu. Aku akan memperlihatkan kepadamu kipas-kipas angin dari kulit bangsa Lumthiyah, sehingga aku bisa tenang dan kamu merasakan kegerahan. Ibnu Ubbad memberi isyarat dengan kulit-kulit Lumthiyah artinya memohon bantuan kepada Murabithun di Afrika Utara. Para fuqaha menghalalkan sumpah ibnu Tasyifin untuk tidak menggabungkan Andalusia ke kerajaanya. Bahkan mereka menambahkan fatwanya yang mengharuskan ibnu Tasyifin melakukannya demi meraih keridhaan Allah agar kaum Muslimin terbebas dari kejahatan para raja. Selanjutnya dating fatwa dari Timur yang memperkuat fatwa fuqaha Andalusia. Semua fatwa ini mendorong Yusuf bin Tasyifin, seorang Arab Badui yang beriman, yang belum tercemar kemewahan, untuk masuk kembali ke Andalusia dalam rangka mengembalikan persatuannya. Kemudian melalui eksepedisinya pada tahun ( 430 H/ 1847 M) di Granada dan berlangsung hingga tahun ( 495 H/ 1182 M). dalam waktu itu ia berhasil menumbangkan kekuasaan para raja, termasuk Ibnu Ubbad yang meminta bantuan Alfonso VI untuk melawan seri bin Abi Bakar, pegawai Ibnu Tasyifin dengan demikian Andalusia menjadi bagian dari kerajaan Murabithun di Afrika.
Tak lama kemudian pecah pemberontakan sengit di Afrika untuk menumpas Al-Murabithun. Tentu saja hal ini mempengaruhi kondisi mereka di Andalusia. Akhirnya Andalusia kembali ke kebiasaan lama dan terpecah-pecah dalam bentuk lebih besar lagi, sehingga jumlah raja-raja di Andalusia sama dengan jumlah kota-kotanya.


C.    Kemajuan dan Kemunduran peradaban Islam di Andalusia

Tak dapat dipungkiri bahwa Islam memainkan peranan yang penting di Spanyol selama sekitar delapan abad. Di Spanyol, Bangsa Arab memperoleh kemenangan paling besar dan paling lama di Eropa walaupun juga penderitaan yang dramatis terjadi di sana (Lewis, 1988: 122; Al Siba’i, 1987: 33). Sejarah panjang yang dilewati umat Islam Spanyol menurut Hamka (1994: 293-294) terbagi dalam tiga masa saja, yaitu masa saat diperintah oleh wakil khalifah dari Damaskus, masa diperintah oleh para amir, dan masa dipimpin oleh seorang khalifah. Namun menurut Badri Yatim (1994: 92), masa Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode sebagai berikut.

1.      Periode Pertama (711-755 M)
Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna karena banyak gangguan baik gangguan internal maupun eksternal. Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan dan pertengkaran di kalangan para elit penguasa, terutama akibat perbedaan suku dan golongan. Begitu pula terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan Gubernur Afrika Utara yang berpusat di Qairawan yang masing-masing mengaku paling berhak atas daerah Spanyol. Konsekuensinya, terjadilah dua puluh kali pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat singkat.
Perbedaan pandangan politik itu menyebabkan seringnya terjadi perang saudara, antara Barbar asal Afrika Utara dan Arab. Etnis Arab sendiri terdiri dari dua golongan yang selalu bersaing, yaitu suku Qaisy (Arab Utara) dan Arab Yaman (Arab Selatan). Perbedaan etnis ini tak jarang menyebabkan konflik politik terutama ketika ada figur yang kuat dan tangguh. Wajarlah jika di Spanyol pada saat itu tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya dalam jangka waktu yang agak lama. Gangguan dari luar muncul dari “mantan” musuh Islam di Spanyol yang bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak pernah loyal kepada pemerintahan Islam. Mereka sangat benci Islam dan terus menyusun kekuatan. Sebagai hasilnya, mereka mampu mengusir Islam dari bumi Andalus walau harus berjuang lebih dari 500 tahun. Dengan banyaknya konflik internal dan eksternal, maka dalam periode ini Islam Spanyol belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Datangnya Abd al Rahman al Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H/755M menjadi tanda berakhirnya periode pertama (Yatim,1994: 94).

2.      Periode Kedua (755-912 M)
Pada masa ini, Spanyol diperintah oleh seorang amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan yang ketika itu dipegang oleh Khalifah Abbasiyah di Bagdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol tahun 138 H/755M dan diberi gelar al Dakhil (yang masuk ke Spanyol). Abdurrahman al Dakhil adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil melarikan diri dan lolos dari kejaran Bani Abbasiyah yang telah menaklukkan Bani Umayyah di Damaskus. Abdurrahman melakukan pengembaraan ke Palestina, Mesir, dan Afrika Utara, hingga akhirnya tiba di Cheuta. Di wilayah ini, ia memperoleh bantuan dari Bangsa Barbar dalam menyusun kekuatan militer. Selanjutnya, ia sukses mendirikan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Pemerintah setelah Abdurrahman al Dakhil adalah Hisyam I, Hakam I, Abd al Rahman al Ausath, Muhammad Ibnu Abd al Rahman, Munzir Ibnu Muhammad, dan Abdullah Ibnu Muhammad (Ali, 1996: 302-312). Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh banyak kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban. Abd Rahman al Dakhil mendirikan masjid Kordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam I dikenal berjasa sebagai pembaharu dalam kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Ia juga orang pertama yang menjadikan Madzhab Maliki sebagai Madzhab resmi negara. Adapun Abd. Al Rahman al Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Pemikiran filsafat mulai masuk, terutama di zaman Abdurrahman al Ausath, yang mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya untuk datang ke Spanyol. Akhirnya, kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol kian berkembang. Gangguan politik serius yang terjadi pada periode ini justru datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu, sejumlah orang yang tak puas menuntut terjadinya revolusi. Pemberontakan yang dipimpin oleh Hafsun dan anaknya, Umar, yang berpusat di pegunungan dekat Malaga merupakan yang gangguan penting. Selain itu, perselisihan antara orang-orang Barbar dan orang Arab masih seringkali terjadi (Yatim, 1994: 96).
3.      Periode Ketiga (912-1013 M)
Pemerintahan Abd Rahman III yang bergelar al Nasir li dinillah (penegak agama Allah) sampai munculnya raja-raja kelompok (kecil) yang dikenal dengan Muluk al Thawaif masuk dalam periode ketiga. Pada periode ini, Spanyol diperintah oleh penguasa yang bergelar Khalifah. Dengan demikian, pada masa ini terdapat dua khalifah sunni di dunia Islam, Khalifah Abbasiyah di Bagdad dan Khalifah Umayyah di Spanyol, di samping seorang khalifah Syi’ah Fatimiyyah di Afrika Utara (Ali, 1996: 308). Pemakaian gelar khalifah tersebut bermula dari berita bahwa al Muqtadir, khalifah daulat Bani Abbasiyah Bagdad, tewas dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilaiannya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam ketidakpastian. Oleh sebab itu, momen tersebut dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memakai gelar khalifah yang telah dirampas dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih (Yatim, 1994: 96). Gelar ini resmi dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ketiga ini ada tiga orang, yaitu Abd Rahman al Nasir (912-961), Hakam II (961-976), dan Hisyam II (976-1009 M). Pada periode ini, umat Islam Spanyol berhasil mencapai puncak kemajuan dan kejayaannya. Hal ini dapat disejajarkan dengan kejayaan daulat Abbasiyah di Bagdad. Abd Rahman III merupakan penguasa Umayyah terbesar di Spanyol. Seluruh gerakan pengacau dan konflik politik dapat diselesaikan sehingga situasi negara relatif aman. Penaklukan kota Elvira, Jain, dan Seville merupakan sebagian bukti keberhasilan Abd. Rahman III dan kekuatan Kristen juga dipaksa menyerah kepadanya. Setelah sukses mengatasi problem politik dalam negeri, ia juga berhasil menggagalkan cita-cita Daulah Fatimiyyah untuk memperluas wilayah kekuasaannya ke negeri Spanyol.
Di bawah pemerintahan Khalifah Abd Rahman III, Spanyol mengalami kemajuan peradaban yang menggembirakan, terlebih di bidang Arsitektur. Tercatat tidak kurang dari 300 masjid, 100 istana megah, 13.000 gedung, dan 300 tempat pemandian umum berada di Cordova. Kemasyhurannya sebagai penguasa dikenal sampai di negeri Konstantinopel, Jerman, Perancis, hingga Itali. Bahkan, penguasa negeri-negeri tersebut mengirim para dutanya ke Istana Khalifah. Armada laut yang dibentuk berhasil menguasai jalur lautan tengah bersama dengan armada Fatimiyyah. Kebesaran Abd Rahman III dapat disejajarkan dengan Raja Akbar dari India, Umar bin Khattab, dan Harun al Rasyid. Jadi, Abdurrahman III bukan hanya sebagai penguasa terbaik Spanyol, melainkan juga salah satu penguasa terbaik dunia (Ali,1996:309). Sayangnya, tidak semua tokoh sejarah mengetahui hal ini (Husain,1996: 1). Penguasa setelah Abd Rahman II adalah Hakam II, yang merupakan seorang kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Koleksi dalam perpustakaannya tidak kurang dari 400.000 buku. Pada masa ini, masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Pembangunan kota pun berlangsung cepat. Selanjutnya, Hisyam II naik tahta dalam usia sebelas tahun merupakan awal kehancuran khilafah Bani Umayyah di Spanyol. Oleh karena itu, kekuasaan de facto berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M. Khalifah menunjuk Ibnu Abi Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam dengan menyingkirkan rekan dan saingannya. Atas keberhasilannya, ia mendapat gelar al Mansur billah. Ia wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al Muzaffar yang masih dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah ia wafat pada tahun 1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualifikasi untuk jabatan itu. Akhirnya pada tahun 1013 M, dewan menteri yang memerintah Cordova menghapus jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu (Watt, 1995: 218).

4.      Periode keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negeri kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau al Muluk al Thawaif, yang antara lain berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, dan Toledo (Bosworth, 1993: 35-40). Pemerintahan terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada periode ini, umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian internal. Sayangnya, jika terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai itu, ada pihak-pihak tertentu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Karena menyaksikan kekacauan dan kelemahan yang menimpa keadaan politik Islam, maka orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan untuk pertama kalinya. Akibat fatalnya, kekuatan Islam diketahui mulai menurun dan tiba saatnya untuk dihancurkan (Yatim,1994:96).

5.      Periode kelima (1086-1248 M)
Walaupun terpecah dalam beberapa negara, pada periode kelima ini, Spanyol Islam masih mempunyai suatu kekuatan yang dominan, yaitu dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf Ibnu Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas undangan penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah berjuang mempertahankan negerinya dari serangan kaum Nasrani. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia. Perpecahan di kalangan raja-raja Muslim menyebabkan Yusuf bergerak lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia pun berhasil. Kesuksesan ini ternyata tidak dapat diteruskan oleh penguasa-penguasa sesudahnya karena mereka adalah raja-raja yang lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti Murabithun baik di Afrika Utara maupun di Spanyol berakhir. Dinasti Muwahhidun muncul sebagai gantinya.  Tahun 1146 M penguasa Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut Spanyol. Muwahhidun didirikan oleh Muhammad Ibnu Tumart (w. 1128). Ia adalah seorang cerdas, tangkas, dan tak segan-segan mempunyai pemikiran berseberangan. Ia adalah murid Qadi Ibnu Hamdin (Urvoy, 1991: 11). Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd al Munim. Antara tahun 1114 dan 1154 M, kota-kota Muslim penting, Cordova, Almeria, dan Granada, jatuh ke bawah kekuasaannya. Untuk jangka beberapa dekade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan terutama saat pemerintahan dipegang oleh Abu Yusuf al Mansur. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi tidak lama kemudian, dinasti Muwahhidun mengalami keruntuhan. Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M. keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun 1238 M, Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh pada tahun 1248 M. Akhirnya, kecuali Granada, seluruh wilayah Spanyol telah lepas dari kekuasaan Islam (Yatim, 1994: 99).

6.      Periode keenam (1248-1492 M)
Kerajaan Granada merupakan pertahanan terakhir Muslim Spanyol di bawah kekuasaan dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman al Nasir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Persekutuan antara wilayah Aragon dan Castille melalui perkawinan Ferdinand dan Isabella melahirkan kekuatan besar untuk merebut kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol (Tim, 1994: 175). Namun beberapa kali serangan mereka belum berhasil menembus pertahanan umat Islam. Abu Hasan yang menjabat pada waktu itu mampu mematahkan serangan tersebut. Bahkan ia menolak membayar upeti kepada pemerintahan Castille. Abu Hasan dalam suatu serangan berhasil menduduki kota Zahra.
Untuk membalas dendam, Ferdinand melancarkan serangan mendadak terhadap al Hamra dan berhasil merebutnya. Banyak wanita dan anak kecil yang berlindung di sana dibantai oleh pasukan Ferdinand. Jatuhnya al Hamra ini merupakan pertanda kejatuhan pemerintahan Granada. Situasi pemerintahan pusat di Granada semakin kritis dengan terjadinya beberapa kali perselisihan dan perebutan kekuasaan antara Abul Hasan dengan anaknya yang bernama Abu Abdullah. Serangan pasukan Kristen yang berusaha memanfaatkan situasi ini dapat dipatahkan oleh Zaghal, saudara Abul Hasan. Zaghal menggantikan Abul Hasan sebagai penguasa Granada. Zaghal berusaha mengajak Abu Abdullah menggabungkan kekuatan dalam menghadapi musuh. Tapi ajakan itu ditolaknya. Ketika terjadi pergolakan politik antara Zaghal dan Abu Abdullah, pasukan Kristen melakukan penyerbuan dan berhasil menguasai Alora, Kasr Bonela, Ronda, Malaga, dan Loxa. Pada serangan berikutnya, Zaghal menyerah dan melarikan diri ke Afrika Utara. Satu-satunya kekuatan Muslim berada di kota Granada dipimpin oleh Abu Abdullah yang kemudian dihancurkan oleh Ferdinand. Abu Abdullah dipaksa menyampaikan sumpah setia kepada Ferdinand dan bersedia melepaskan harta kekayaan ummat Islam sebagai imbalan dari diberikannya hak hidup dan kebebasan beragama bagi orang Islam. Peralihan kekuasaan yang menyedihkan itu terjadi pada tanggal 3 Januari 1492M (Ali, 1996: 315; Yatim, 1994: 99-100). Dengan demikian, berakhirlah kekuasan Islam di Spanyol. Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol. Akibatnya, pada tahun 1609 M, dapat dikatakan tidak ada lagi umat Islam yang hidup di daerah ini.
Ketika terjadi demonstrasi menuntut pengembalian Andalusia dari tangan kaum muslimin, mereka berhasil mendapatkannya dan dengan demikian Andalusia telah jatuh secara mutlak ke tangan orang-orang Al-Qasytalah (Castilla) dan Al-Arguni (Aragon). Mereka juga berhasil merampas perpustakaan Arab yang besar yang merupakan harta kekayaan termahal di dunia dalam bidang ilmu pengetahuan dan pemikiran. Pada saat Toledo jatuh ke tangan Alfonso VI, Raja Castilla, tahun 1085 Masehi, para perampok Spanyol itu menjual perpustakaannya dengan koleksi bukunya yang berjumlah 500.000 jilid kepada Para pelancong. Kemudian pada saat jatuhnya Qordova tahun 1236 Masehi, perbuatan biadab ini terulang kembali. Perpustakaan Qordava dengan jumlah bukunya 440.000 jilid juga dijual. Demikian juga pada saat jatuhnya kota Gharnathah (Granada) tahun 1.492 Masehi, perpustakaan Granada dengan 500.000 koleksibukunya dijual. Bagaimana Pun para perampok dan penjajah Castilla dan Aragon adalah orang-orang bodoh dan tidak memperhatikan nilai dari buku-buku itu selain dari harganya setelah dijual. Para penjual bukubuku itu kemudian membawanya di atas unta mereka untuk dijual kepada oranS-orang yangberani membayar dengan harga mahal. Konon, orang-orang Eropa yang berada di wilayah sekitar Prancis, Itali, dan |erman termasuk orang yang merindukan ilmu pengetahuan Arab dan kebudayaannya. Maka wajar kalau mereka memburu buku-buku itu dan membelinya dari penjualnya. Mereka kemudian mempelaiarinya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa latin dan berbagai bahasa Eropa lainnya.

D.    Kontribusi Islam di Andalusia terhadap Kemajuan Eropa

Eksistensi Andalusia di dunia mendapat perhatian penuh dari berbagai kalangan masyarakat dunia. Selama tujuh abad kekuasaan Islam di Andalusia memiliki banyak pengaruh yang besar terhadap dunia Islam maupun dunia Eropa. Eropa yang saat itu sedang mengalami dark age seakan mendapat cahaya hidayah dari Andalusia. Beragam prestasi pun banyak ditorehkan saat itu, terlihat dari beberapa sektor yang mempengaruhi keadaan Eropa seperti:
1.      Pendidikan[6]
Para ilmuwan Arab dan Islam menyebar ke kepulauan Iberia (Spanyol dan Portugal), Perancis Barat, beberapa kepulauan terdekat dan beberapa kepulauan di daerah Barat Tengah lainnya yang telah dikuasai oleh bangsa Arab baik dalam jangka waktu yang lama maupun singkat. Bangsa Arab juga pernah tinggal di daerah bagian Italia dan Swiss, sekalipun hanya sementara. Pergaulan orang-orang Arab yang baik kepada orang-orang Eropa telah membangkitkan kekaguman mereka sehingga timbul keinginan untuk mempelajari peradaban bangsa Arab, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pola hidupnya. Dari sinilah, orang-orang Eropa mulai meniru orang-orang Arab dalam hal-hal yang mungkin dapat mereka tiru.
Bahkan seperti di Andalusia, mereka belajar bahasa Arab dan secara bertahap mendalami ilmu pengetahuan bangsa Arab, sekalipun mereka beragama Kristen. Para pecinta ilmu dari berbagai penjuru Eropa Barat lalu berdatangan ke Andalusia, seperti Itali, Perancis, Swiss, Jerman, dan kepulauan Inggris. Mereka kemudian mulai mendalami ilmu-ilmu pengetahuan dan kebudayaan bangsa Arab, lalu menyebarkan unsur-unsur peradaban Arab dan Islam ke berbagai penjuru di Eropa. Pada saat itulah di Eropa mulai didirikan lembaga pusat terjemah untuk menerjemahkan warisan pemikiran dan keilmuan bangsa Arab dan Islam ke dalam bahasa Latin, yaitu bahasa ilmu pengetahuan dan agama di Eropa pada masa itu.
Di samping, sebagai bahasa pengantar orangorang Eropa antara satu dengan lainnya, sama seperti bahasa Arab resmi sekarang. Di antara lembaga Pusat terjemah tersebut adalah:
a.       Universitas Qordova
Lembaga terjemah di universitas ini terdapat di Masiid Agung Qordova. Di Universitas inilah orang-orang Eropa belajar ilmu, di antaranya seperti yang dikatakan oleh banyak saksi mata adalah Uskup Vatikan, Silvaster II. Di universitas ini secara besar-besar berlangsung Penerjemahan buku-buku Arab ke bahasa Latin, dan dari sinilah pemikiran ilmuwan besar seperti Ibnu Rusyd dipindahkan ke Eropa.
b.      Sekolah Thulaithulah (Toledo)
            Sekolah ini didirikan di kota Thulaithulah (Toledo), yaitu sebuah kota penting di negara Spanyol dan merupakan ibukotanya sebelum ditaklukkan oleh Islam. Di antara tokoh terkemuka dari sekolah ini yang telah menerjemahkan manuskrip-manuskrip berbahasa Arab ke bahasa Latin adalah Dominggo Guan De Silva dan irar Gherardo de Cremona yang berkebangsaan Itali, serta Ibnu Daud yang berkebangsaan Yahudi dan dikenal dengan nama Don Khuwan.
c.       Sekolah Salerno
Sekolah ini merupakan sekolah ilmu kedokteran yang didirikan oleh Raja Sisilia, An-Nurmani, dan pembela kebudayaan Arab, Roger II. Adapun guru-guru yang mengajar di sekolah ini adalah para Ilmuwan muslim dan Yahudi. Di antara tokoh terkemuka dari sekolah ini adalah Qastantin Al-Afriqi yang berasal dari keturunan Arab dan Machael Scot dari Skotlandia yang merupakan mediator antara Sekolah Toledo dan Sekolah Sa1erno. (Sebagai catatan: Sekolah Salerno terletak di kota Salerno di Teluk Salerno atau di Barat Daya Itali)
2.      Kedokteran
Bangsa Eropa telah banyak belajar ilmu-ilmu kedokteran Islam. Bahkan banyak para dokter muslim yang mengajar mahasiswa asal Eropa di Andalusia, Sisilia, dan di sekolah Salerno yang didirikan di kota Salerno di dekat pantai Barat Daya Itali. Sekolah ini merupakan sumber ilmu kedokteran Islam di tanah Eropa. Lusian Leclere menghitung bahwa sebanyak tiga ratus buku kedokteran Arab telah diterjemah ke dalambahasa Latin oleh orang-orang Eropa. Tentang kemajuan peradaban Arab dan Islam dalam bidang kedokteran, seorang penulis Inggris bernama Hubert Byrd mengatakan, "Sejak seribu tahun atau lebih, bangsa Arab telah menjadi penunjuk jalan dan pelopor dalam riset ilmiah, terutama di bidang kedokteran. Mereka adalah satu-satunya bangsa yang mengetahui pentingnya rumah sakit dan menganjurkan keberadaannya di berbagai tempat pada masa itu. Rumah sakit dalam makna yanq sebenarnya juga merupakan pusat ilmu dan riset ilmiah, dipimpin oleh para pakar spesialis dan dipelajari oleh mahasiswa yang tekun.[7]
Ar-Razi menempati posisi puncak, sebagaimana dikatakan oleh para orientalis dan orang yang berkecimpung dalam sejarah kedokteran dengan menobatkannya sebagai dokter terbesar yang dilahirkan oleh kebangkitan ilmu pengetahuan Islam. Sedangkan dokter atrli bedah kebanggaan Arab, Abu Al-Qasim Khalaf bin Abbas Az-Zalrawi lahir di Az-Zal:ua' yang merupakan bagian wilayah Cordova di Andalusia pada tahun 325 H (936 M) dan meninggal pada tahun 404H[8]
Sebagaimana yang diceritakan bahwasanya seorang tabib bernama Al-Harani datang dari wilayah Timur menuju Andalusia dengan membawa obat penangkal sakit perut yang diramunya dalam dosis yang tepat. Ketika beberapa temannya mencoba untuk meramu obat tersebut setelah mereka mencicipinya terlebih dahulu dengan satu kali tegukarL mereka kemudian memberitahukan kepada Al-Harani tentang bahan-bahan yang terkandung di dalamnya sekaligus takarannya, Al-Harani berkata, "Kalian sudah benar dalam masalah bahan-bahary namun kalian salah dalam masalah takaran.”[9]
3.      Teknologi Perang
Kaum muslimin juga dianggap unggul dalam mengolah teknologi barang tambang serta dalam industri besi dan baja yang membuat mereka terkenal dalam membuat pedang dan peralatan perang. Ketika mereka telah mengetahui rahasia yang ada pada bubuk senjata yang ditemukan oleh bangsa Cina, mereka membuat meriam dan memakainya dalam perang di Andalusia. Sedangkan bangsa Eropa mengira bahwa meriam itu digerakkan oleh setan.[10] 
Ada pula pengakuan ahli sejarah, Veiridot yang menjelaskan dalam bukunya "Pemandangan Umum tentang Akhlak bangsa Arab di Andalusia pada abad kedua puluh," bahwa kaum muslimin di Andalusia pada masa Raja Al-Manshur bin Abi Amir telah membuat pengelompokan tentara menjadi pasukan berkuda, lalu membuat peraturan-peraturan yang ditiru oleh pasukan berkuda Eropa. Seorang ahli sejarah berkebangsaan Spanyol, Renauld of Cordova, menegaskan bahwa dasardasar pengelompokan tentara menjadi pasukan berkuda, keberanian, menjaga kehormatan, bersikap lembut kepada wanita dan menunjukkan penghormatan kepadanya, serta bersikap baik kepada para tawanan merupakan akhlak dan prilaku yang bersifat umum pada masa pemerintahan Raja Al-Manshur.[11]
4.      Pertanian dan Peternakan
Pertanian dan Peternakan Hewan Kaum muslimin banyak memasukkan berbagai hasil pertanian dan buah-buahan yang belum dikenal oleh bangsa Eropa yang telah mereka dapatkan dari semua penjuru dunia di masa lampau. Di Andalusia, kaum muslimin berhasil mengembangkan pola tanam dan sistem irigasi secara besar-besaran. Mereka merubah kepulauan Iberia (Spanyol dan Portugal) menjadi surga yang hijau dan teduh karena kebun-kebunnya dipenuhi dengan pohon dan tanaman hias dari berbagai jenis. Dari Andalusia inilah tersebar taman-taman dan bunga-bunga ke seluruh Eropa Barat. Suatu kenyataan yang memang dapat kita lihat pada masa sekarang dan tidak kita temukan di Eropa Timur, sekalipun usia peradaban mereka tebih tua dari pada Eropa Barat yang masih terendam dalam lumpur dan kebodohan hingga datang kaum muslimin. Kaum muslimin memiliki banyak karya tulis yang sangat penting dalam bidang pertanian dan telah diambil oleh bangsa Eropa sehingga turut memberikan kontribusi bagi kebangkitan dunia pertanian di Eropa.[12]
5.      Tata Kota
Pada bangunan dan perencanaan penataan kota Bangsa Eropa merasa bangga dengan kebesaran kota Qordova sebagai pusat pemerintahan Umawiyah di Andalusia yang merupakan kota terbesar di Eropa pada abad kesepuluh Masehi hingga tidak dapat dibandingkan dengan kota-kota Eropa lainnya, termasuk Konstantinopel yang merupakan ibukota Imperium Bizantium.
Untuk menjelaskan kebesaran Qordova, kita cukup membandingkan bahwa jalan-jalan di kota Qordova telah dihiasi dan diterangi pada saat jalan-jalan di kota-kota Eropa lainnya penuh dengan kotoran. ]alan-jalan di Qordova dibekali dengan jaringan saluran air tawar dan jaringan pelayanan kesehatan, pada saat kota-kota di Eropa mengalami keterbelakangan dan dipenuhi bau pesing, kotoran manusia dibuang di tengah jalan, yang justru menambah buruk pemandangan kota.
Bangsa Eropa telah belajar tekhnik perencanaan dan penataan kota-kota Islam, dan mereka meniru bangunan Is1am. Rumah-rumah di Eropa terpengaruh oleh gaya dan arsitektur rumah Arab yang memiliki halaman dalam. Dari halaman dalam inilah rumah dapat dibuka tanpa harus membuka bagian luarnya secara langsung.
Demikian juga dengan penataan letak jendela yang membuat rumah orang muslim mendapatkan cukup cahaya dan udara tanpa kelihatan oleh orang-orang yang melintas di luar rumah. Selain dari itu, banyak dipergunakan cat warna putih pada rumah. Pengaruh ini telah menyebar di Amerika Utara dan Selatan bersamaan dengan datangnya orang-orang Spanyol ke Amerika, hingga saat ini banyak kita jumpai kemiripan antara rumah orang muslim di Andalusia dengan rumah-rumah lama di wilayah Florida Amerika yang telah dibangun oleh orang-orang Spanyol, dan rumah-rumah perkampungan di Meksiko. Akibat pengaruh kebudayaan Arab yang menyeluruh pada berbagai aspek kehidupan, orang-orang Eropa belajar cara menanam pohon, tumbuh-tumbuhan, dan tanaman hias di halaman rumah mereka yang pada saat sekarang dikenal dengan sebutan taman rumah. Bangsa Arab memang bukan yang pertama kali membuat taman di rumah, akan tetapi mereka sangat memperhatikan dan dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Bangsa Eropa telah meniru perhatian seperti ini sehingga menjadi tradisi di kalangan mereka.[13]
6.      Kebersihan
Dalam menjaga kebersihan dan pendirian toilet umum: Untuk pertama kalinya, etika hidup bersih menjadi prilaku masyarakat dalam peradaban Islam. Orang muslim memperhatikan mandi, kebersihan, dan wudhu' sebagai perintah dari hukum agamanya. Prilaku hidup bersih ini telah menjadi tradisihingga menjadi salah satu dari ciri-ciri mereka. Bahkan orang-orang miskin di Andalusia tetap mempergunakan uang terakhir yang dimitikinya untuk membeli sabun agar ia dapat pergi ke masjid dan tempat-tempat umum dalam keadaan bersih dan berpenampilan baik. Ia tidak perduli apakah setelah itu ia harus tidur di atas tikar. Pemerintahan Islam kemudian memperhatikan perlunya mendirikan toilettoilet umum dan menyebarkannya di seluruh penjuru kota-kota Islam, sehingga menjadi fenomena kehidupan sehari-hari umat Islam.[14]
7.      Cara Makan
Dalam tata cara makan, Orang Eropa belajar dari kaum muslimin seni memasak dan tata cara yang berhubungan dengan penyajian makanan, seperti giliran penyajian makanan yang diakhiri dengan memakan roti atau buah-buahan. Demikian juga dengan penyajian makanan kepada orang terhormat yang menggunakan Barpu, pisau, dan sendok sebagai ganti dari makan dengan tangan. Cara makan seperti ini sebenarnya didapatkan oleh orang Arab dari peradaban Persia yang merupakan peradaban termaju pada masanya. Akan tetapi mereka mengembangkannya sesuai dengan cara-cara yang Islami dan apa yang seharusnya dilakukan dalam menghormati tamu. Tradisi ini berpindah ke Eropa secara besar-besaran melalui gaya hidup seorang penyanyi Arab bernama Zaryab ketika ia pindah dari Baghdad ke Andalusia dengan membawa kebiasaan orang Persia dan nilai-nilai tradisi Dinasti Abbasiyyah serta selera makannya yang tinggi. Ia berhasil membuat perubahan yang besar dalam kehidupan sehari-harinya seperti cara berpakaian, berpenampilan, dan penataan perabot rumah serta tradisi-tradisi yang berhubungan dengan pola makan. Di antaranya dengan mengganti tempat minuman yang semula menggunakan emas dan perak di rumah para bangsawan dengan menggunakan gelas kaca. Cara hidup seperti ini tetap bertahan di Andalusia dan kemudian berpindah ke rumah para bangsawaru lalu menyeluruh ke seluruh lapisan masyarakat Eropa.[15]
8.      Cara Berpakaian
Mahasiswa di universitas-universitas dunia Islam memiliki pakaian tersendiri yang berbeda dari seragam kamptts lainnya dan dari tahun ke tahun. Para dosen di universitas Islam biasa memakai thailasan (baju panjang seperti jubah) dan kebiasaan ini kemudian ditiru oleh dosen dan mahasiswa di Eropa sehingga mereka juga memakai seragam kampus. Topi seperti itu sampai sekarang masih selalu dipergunakan pada acara wisuda mahasiswa. Para dosen dan mahasiswa muslim juga biasa memakai peci, dan peci ini sangat umum pemakaiannya di Andalusia. Orang-orang lalu menirunya dengan menambah sebagian aksesoris pada bagian luarnya sehingga menjadi topi resmi universitas, sekalipun pemakaiannya hanya terbatas ketika wisuda.[16]
9.      Seni Tenun dan Tekstil
Dalam seni tenun dan tekstil: Bangsa Arab juga unggul dalam seni tenun seperti; menyulam, menjahit, dan membordir. Sebelumnya seni tenun seperti ini dilakukan oleh orang Arab pedalaman, seperti macrame (bahasa Inggris) yang berasal dari bahasa Arab "Makhramah." Sebagian seni tenun ini muncul di Syam, Persia, atau di negara lainnya yang berperadaban. Seni tenun ini kemudian dibawa ke Andalusia dan Sisilia. Dari kedua kota inilah seni tenun menyebar di Eropa. Sebagaimana juga kesenian "Aubttsson" yang terkenal di Prancis merupakan kesenian asli Andalusia yang masuk ke Prancis bersamaan dengan datangnya penduduk migran ke Andalusia danmengungsike Prancis karena lari dari tekanan penguasa pada saat itu. Kesenian ini kemudian mencapai puncak kemajuannya di Prancis dan menjadi terkenal.[17]








[1] Hasan, Sudirman (2011) Islam dan peradaban Spanyol: Catatan kritisbeberapa faktor penyebabkesuksesan Islam Spanyol. el-Harakah, 13, (2), 20 halaman. ISSN 1858-4357. Tersedia: http://repository.uin-malang.ac.id/1333/
[2] Basya, Ahmad Fuad. 2015. Sumbangan Keilmuan Islam Pada Dunia. Jakarta: Pustaka Al-kautsar. hlm. 50-51

[3] Idem.hlm. 115
[4] Idem.hlm. 269
[5] Saiful (2013)Kemajuan Peradaban Islam di Spanyol pada Masa Muluk Al-Thawaif.Undergraduate (S1) thesis, Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar. Tersedia: http://repositori.uin-alauddin.ac.id/1188/
[6] Gharib Gaudah, M. 2012. 147 Ilmuan Terkemuka Dalam Sejarah Islam. Terjemahan Mas Rida Muhyidin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 16-19
[7] Idem.hlm. 39
[8] Basya, Ahmad Fuad. 2015. Sumbangan Keilmuan Islam Pada Dunia. Jakarta: Pustaka Al-kautsar. hlm. 379
[9] Idem. hlm. 432
[10] Gharib Gaudah, M. 2012. 147 Ilmuan Terkemuka Dalam Sejarah Islam. Terjemahan Mas Rida Muhyidin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar . hlm. 48
[11] Idem. hlm. 72-73
[12] Idem. hlm. 49-50
[13] Idem. hlm. 52-54
[14] Idem. hlm. 54
[15] Idem. hlm. 56-57
[16] Idem. hlm. 69
[17] Idem. hlm. 58

Share:

Entri yang Diunggulkan

Islam di Andalusia

A.     Proses Masuknya Islam ke Andalusia Pemerintahan Islam yang pertama kali menduduki Spanyol adalah Khalifah dari Bani Umayyah ya...

Popular Posts

Label

Recent Posts