A.
Proses Masuknya Islam ke Andalusia
Pemerintahan Islam yang pertama kali menduduki Spanyol adalah
Khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus (Salwasalsabila, 2008:
21). Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan
menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayyah. Penguasaan
sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di zaman Khalifah Abd Malik (685-705
M). Khalifah Abd Malik mengangkat Ibnu Nu’man al Ghassani menjadi gubernur di
daerah itu. Pada masa Khalifah al Walid (705-715 M), Hasan Ibnu Nu’man sudah
digantikan oleh Musa Ibnu Nushair. Di saat al Walid berkuasa, Musa Ibnu Nushair
sukses memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki daerah Aljazair dan
Maroko. Selain itu, ia juga menyempurnakan penaklukan ke berbagai wilayah bekas
kekuasaan Bangsa Barbar di sejumlah pegunungan sehingga mereka menyatakan loyal
dan berjanji tidak akan membuat kekacauan seperti yang telah mereka lakukan
sebelumnya.
Penaklukan
wilayah Afrika Utara hingga menjadi salah satu propinsi dari Khalifah Bani
Umayyah membutuhkan waktu selama 53 tahun, sejak tahun 30 H (masa pemerintahan
Muawiyah Ibnu Abi Sofyan) sampai tahun 83 H (masa al Walid). Sebelum dikalahkan
dan kemudian dikuasai Islam, kawasan itu merupakan basis kekuasaan Kerajaan
Romawi, yaitu Kerajaan Gothik. Kerajaan ini seringkali mendatangi penduduk dan
mendorong mereka untuk membuat kerusuhan dan menentang kekuasaan Islam. Setelah
kawasan ini dapat dikuasai secara total, umat Islam mulai memusatkan
perhatiannya untuk menaklukkan Spanyol. Dari sini dapat diketahui bahwa
penaklukan Afrika Utara adalah batu loncatan bagi kaum Muslimin untuk menguasai
wilayah Spanyol (Syalabi, 1995: 156). Dalam sejarah penguasaan Spanyol, ada
tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa dalam proses penaklukan
Spanyol. Mereka adalah Tharif Ibnu Malik, Thariq Ibnu Ziyad, dan Musa ibn Ibnu
Nushair. Tharif dinilai sebagai perintis dan penyelidik wilayah Spanyol karena
ia merupakan orang pertama yang sukses menyeberangi selat antara Maroko dan
Benua Eropa. Ia pergi bersama satu pasukan perang berjumlah lima ratus orang
dengan menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian. Dalam penyerbuan
itu, Tharif menang dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang
banyak jumlahnya. Termotivasi oleh keberhasilan Tharif dan krisis kekuasaan
dalam kerajaan Gothic yang menguasai Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang
besar untuk memperoleh harta rampasan perang, pada tahun 711 M Musa Ibnu
Nushair mengirim pasukan sebanyak 7000 orang ke Spanyol di bawah pimpinan
Thariq Ibnu Ziyad (Hitti, 2005: 628).
Thariq Ibnu Ziyad lebih terkenal sebagai penakluk Spanyol sebab
jumlah pasukannya lebih besar dan efeknya pun lebih nyata (Syalabi, 1995:
159-1960; Hill, 1996: 10). Pasukannya terdiri dari sebagian besar suku Barbar
yang didukung oleh Musa Ibnu Nushair dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim
Khalifah al Walid (Yatim, 1994:86). Orang Barbar merupakan suatu bangsa yang
masih mempunyai pertalian keturunan dengan Bangsa Hamiyah, suatu cabang dari
bangsa kulit putih dan dalam masa pra sejarah mungkin berasal dari Bangsa
Samyah. Kebanyakan orang Barbar (Berber) yang mendiami daerah pesisir beragama
Kristen. Orang terkemuka dalam agama Kristen tua, seperti Tertullianus, Santa
Cyprianus, dan terutama Santa Augustinus berasal dari negeri ini (Hitti, 2005:
83). Pasukan itu kemudian menyeberangi Selat di bawah pimpinan Thariq Ibnu
Ziyad. Gunung tempat pertama kali Thariq dan pasukannya mendarat dan menyiapkan
pasukannya hingga kini dapat dikenang dengan nama Gibraltar (Jabal
Thariq). Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, ada pula yang
menyebutnya Lakkah (Wadil Lakkah atau Goddelete), tepatnya tanggal 19 Juli 711
M, Thariq berhasil mengalahkan Raja Roderick. Selanjutnya, Thariq dan
pasukannya terus menaklukkan kota-kota penting di sana, seperti Cordova,
Granada, dan Toledo. Ia pun sempat meminta tambahan pasukan kepada Musa Ibnu
Nushair di Afrika Utara. Musa mengirimkan tambahan pasukan sebanyak 5000 tentara,
sehingga jumlah pasukan Thariq seluruhnya 12.000 orang. Jumlah ini belum
sebanding dengan pasukan Bangsa Gothic itu yang jauh lebih besar, 100.000 orang
(Yatim, 1994: 86). Kekalahan pasukan Roderick, menurut Syalabi, disebabkan
karena pasukannya itu terdiri dari para hamba sahaya dan orang-orang lemah.
Selain itu, di antara mereka ada pula musuh-musuh Roderick. Ditambah lagi,
orang-orang Yahudi secara rahasia juga mengadakan persekutuan dengan kaum
Muslimin (Syalabi, 1995: 159-1960). Kemenangan pertama yang diperoleh Thariq
Ibnu Ziyad merupakan jalan lapang untuk penaklukan wilayah yang lebih luas
lagi. Untuk itu, Musa Ibnu Nushair merasa perlu melibatkan diri dalam
gelanggang pertempuran dengan maksud membantu perjuangan Thariq (Syalabi, 1995:
161-1962). Dengan suatu pasukan yang besar, ia berangkat menyeberangi selat
itu. Satu demi satu kota yang dilewatinya berhasil dikuasai. Setelah Musa
berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan
penguasa kerajaan Gothic, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di
Toledo. Selanjutnya keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di
Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai Saragosa sampai Navarre (Yatim, 1994:
90).
Dari kisah penaklukan Spanyol di atas, dapat diketahui bahwa
keberhasilan tiga pahlawan Islam: Tharif Ibnu Malik, Thariq Ibnu Ziyad, dan
Musa Ibnu Nushair, tidak lepas dari semangat mereka melakukan ekspansi wilayah
kekuasaan Islam pada waktu yang tepat. Di saat seluruh wilayah Afrika Utara
sudah dikuasai dan kekuasaan kerajaan Gothic mulai melemah, lompatan berikutnya
adalah penguasaan daerah Spanyol yang berada di seberang. Keberanian Tharif
sebagai orang pertama yang menyeberang selat antara Maroko dan benua Eropa itu
patut dihargai meskipun dalam ekspedisinya belum banyak melibatkan pasukan
sehingga hasilnya belum kentara. Keberhasilan Tharif mendorong Thariq untuk
mengadakan ekspedisi berikutnya dengan pasukan lebih besar. Hasil yang dicapai
telah dicatat dalam sejarah sehingga membuat Thariq lebih layak dianggap
sebagai penakluk Spanyol. Peran serta sang Gubernur Afrika Utara, Musa Ibnu
Nushair, dalam penaklukan Spanyol memperkuat sekaligus melengkapi keberhasilan
Thariq dalam upaya penguasaan Spanyol. Kerjasama satu tim dan keterlibatan
aktif pimpinan pusat dan pelaksana lapangan telah membuahkan hasil maksimal
dalam perluasan kekuasaan Islam ke Spanyol.
Masa selanjutnya di Barat, peradaban Islam senantiasa
mempersembahkan pengabdian dan kontribusinya di Andalusia berkat kebijakan
salah seorang pemimpin dari Bani Umayyah bernama Abdurrahman Ad-Dakhil, yang
mendapat julukan Shnqar Quraisy, yang berarti Elang kaum Quraisy. Ia mendapat
kesempatan untuk melarikan diri pada masa kekhalifahan Abu ]a'far Al-Manshur ke
wilayah Andalusia dan mendirikan pemerintahan Bani Umayyah di sana tahun 756 -
1031 M, yang mampu mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan
Abdurrahman At-Tsani antara tahun 822-852 M. Tepatnya ketika ia
menginstruksikan transformasi berbagai warisan pemikiran Yunani, Persia, dan
India yang dikuasai Bani Abbasiyah ke Cordova dan menempatkan Andalusia sebagai
pesaing utama pemerintahan Bani Abbasiyah dalam bidang kemakmuran, kemajuan
peradaban dan ilmiah. Kemajuan ini merupakan nutrisi penting bagi kebangkitan
bangsa Eropa modem hingga abad keenam belas Masehi
Terdapat beberapa manuskrip bersejarah yang menjelaskan bahwa para
Ilmuwan Barat yang mencapai popularitasnya pada saat itu seperti Roger Bacon,
telah mendalami warisan para intelektual muslim dan mengembangkan
pandangan-pandangan eskperimental mereka, yang diyakini sebagai nukleus utama
bagi perkembangan ilmu dan teknologi pada masa modem. Bangsa Eropa sangat
terlambat untuk mengakui keunggulan dan keteladanan bangsa Arab dan umat Islam
ini dalam merumuskan metode ilmiah. Hingga kemudian datanglah pakar seiarah Prevolt
yang dalam Banah Al-lnsaniyyah, mengatakan "Sesungguhnya Roger Bacon telah
mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di akademi Oxford dari para gurunya
dari Arab di Andalusia. Roger Bacon dan juga Francis Bacon yang datang
sesudahnya tidak berhak mengklaim sebagai penemu metode eksperimen ini. Sebab
Roger Bacon hanyalah salah satu delegasi ilmu dan metode ilmiah umat Islam ke
Kristen Eropa. Ilmu merupakan persembahan paling berharga dari peradaban Arab
kepada dunia modern.
Al-Bairuni menceritakan bahwa setelah menyebarnya agama Islam dan
menguatnya pondasi Islam di negara-negara jauh dan dekat, di mana Islam masuk
ke negara India, China, Andalusia, Ethopia, Afrika, Turki, Sicilia, maka
situasi dan kondisi berubah; keamanan menjadi stabil, hubungan-hubungan antara
sesama semakin erat, memperoleh informasiinformasi berkaitan dengan
tempat-tempat di berbagai penjuru bumi lebih mudah dan aman daripada
sebelumnya.
B.
Sistem Politik dan Pemerintahan di Andalusia
Selama periode ini kelompok etnis berkuasa yang
disebut dengan masa Muluk al-Thawaif. Pada periode ini, Spanyol terpecah
menjadi lebih dari tiga puluh Negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja
golongan atau Muluk al-Thawaif, yang berpusat di suatu kota seperti
Sevilla, Cordova, Toledo, dan sebagainya. Yang terbesar diantaranya adalah
Abbadiyah di Sevila. Pada periode ini umat Islam Spanyol kembali memasuki masa
pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada diantara
pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen.
Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk
pertama kalinya orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif
penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan
intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para
sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana
lain.
Perpecahan politik tersebut sakaligus
mencerminkan perbedaan anggota militer pada masa kerajaan Abbadiyah yang
kemudian melepaskan diri dari pemerintahan pusat, selain itu hal ini dapat juga
dipahami sebagai ketidakharmonisan umat Islam di Sevilla, karena terlalu
mengedepankan perbedaan etnik dan golongan masing-masing, disamping ambisi yang
terlalu kuat dari masing-masing golongan untuk berkuasa di Sevilla, ditambah
lagi dengan dihapuskannya jabatan Khalifah oleh dewan menteri yang semakin
membuka peluang untuk perebutan kekuasaan, hingga berujung kepada tidak
jelasnya peralihan kekuasaan.
Pemerintah pada periode ini diwarnai dengan
berbagai peperangan antara golongan kerajaan yang kuat menyerang yang lemah
sehingga untuk mempertahankan kekuasaannya ada sebagian golongan yang minta
bantuan kepada non Muslim. Perpecahan politik di kalangan umat Islam ini
menimbulkan hasrat orang-orang nasrani untuk merebut kembali daerah Sevilla,
hal ini diwujudkan dengan berbagai serangan oleh pihak nasrani kepada pihak
Islam. Pihak Nasrani yang diwakili oleh Alfonsovi berhasil merebut kota Toledo
pada tahun 1805 M. dan serangan-serangan lain dilancarkan kepada daerah-daerah
kekuasaan Islam lainnya. Al-Mu’tamad bin Ubbad salah seorang dari raja bani
Ubbad meminta bantuan kepada Dinasti Murabithun di Afrika utara, yang pada saat
itu dipimpin oleh Yusuf bin Tashifin. Yusuf datang bersama pasukan pada tahun (
1806 M). dan bergabung dengan pasukan Al-Mu’tamid di daerah Zalaka dan berhasil
mengalahkan pasukan Alfonso ke VI, walaupun kota Toledo tidak dapat direbutnya
kembali sejak saat itu diambil alih oleh Dinasti Murabithun. Walaupun pada masa
ini merupakan masa perpecahan tapi peradaban dan
seni
dianggap memasuki masa kejayaanya, tetap memberikan dorongan kepada ilmuwan dan
sastrawan untuk mengembangkan ilmunya bahkan mereka mendapat perlindungan dari
kalangan penguasa. Bahkan para pemimpin setiap golongan berlomba-lomba untuk
menyaingi kemajuan Cordoba sebagai pusat ilmu, sehingga pada masa tersebut
bermunculan pusat-pusat peradaban baru yang lebih maju dari Cordova.
Setelah Islam mengalami kemunduran, Eropa
bangkit dari keterbelakangan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mempengaruhi kemajuan dalam bidang politik. Kemajuan yang
dicapai oleh Eropa ini tidak lepas dari peran penting dari permerintahan Islam
di Sevilla. Pada masa keemasannya, Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang
sangat penting, menyaingi Baghdad di Timur. Banyak orang – orang Eropa Kristen
yang belajar di perguruan – perguruan tinggi Islam disana, sehingga Islam
menjadi guru bagi orang Eropa.
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan
Abd.Rahman III yang bergelar an-Nashir sampai munculnya raja-raja kelompok yang
dikenal dengan sebutan Muluk al-Thawaif. Pada periode ini Spanyol
diperintah oleh penguasa dengan gelar Khalifah, penggunaan khalifah tersebut
bermula dari berita yang sampai kepada Abd. Rahman III, bahwa Muktadir,
Khalifah Daulah Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya
sendiri. Menurut penilainnya, keadaan ini menunjukan bahwa suasana pemerintahan
Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan
saat yang tepat untuk memakai gelar Khalifah yang telah hilang dari kekuasaan
Bani Umayyah selama 158 tahun lebih. Karena itulah gelar ini dipakai mulai
tahun ( 929 M). Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ini ada
tiga orang yaitu Abd. Rahman an-Nashir ( 912-961 M), Hakam II ( 961-976 M), dan
Hisyam II ( 976-1889 M). Alfonso VI
telah menyatukan imperium Asturias, Leon dan Castilla. Ia memandang perlu
memanfaatkan kemelut raja-raja Klan sedang memanfaatkan diri pada Alffonso VI
dengan memberi hadiah dan suap demi memperoleh perlindungan. Alfono VI
menghimpun semua hadiah itu sehingga menjadi perbekalan untuk membinasakan
mereka tanpa terasa. Senantiasa memanfaatkan setiap kesempatan untuk merebut
kembali berbagai benteng dan kastil, satu demi satu dan tepat tahun (470 H/
1806 M), ia melakukan penyerbuan hingga berhasil merebut Toledo, dan menyimpan
pasukan garnisun sebanyak 120888 prajurit di benteng latih di pusat Andalusia.
Dari benteng inilah pasukan keluar untuk melakukan penyerangan dan perampasan. Cerita
lucu dalam sejarah adalah ketika oaring-oarang menghadang serbuan Bani
Abbadiyah di Timur tahun ( 505 H/1198 M), dan yang memimpin penghadangan
terhadap pasukan Bani Jauhar di Zaragosa adalah Yusuf bin Tasyifin tahun ( 479
H/ 1807 M), hanya saja keuntungan popularitas yang di raih Yusuf al-Ayyubi
lebih tinggi, sebab ia lebih banyak di sebut dalam sejarah. Sementara Yusuf bin
Tasyifin tidak memperoleh perhatian seperti itu, padahal ia orang yang menyelamatkan
Andalusia dari kehancuran pada saat itu.
Ibnu Tasyifin melihat kemewahan dan perilaku
berlebih-lebihan para raja, dan
kewajiban
pajak yang di bebankan kepada rakyat, maka ia memerintahkan mereka untuk
menghapus sebagian besar pajak. Namun seruannya hanya di respon oleh Ibnu Ubbad.
Lebih dari itu, para raja itu telah memenuhi telinga ibnu Tasyifin mengetahui semuanya.
Akhirnya, ia pun tidak percaya lagi kepada mereka semua. Raja-raja klan telah
putus asa untuk bersatu. Lantas delegasi meeka berangkat ke Daulah Murabithun
di Afrika utara menyampaikan undangan. Namun sebagian penasihat Ibnu Ubbad,
Raja Sevilla dan Cordova, merasa takut denngan adanya undangan ini. Hanya saja
raja menyuruh mereka diam sambil berujar, menjadi pengembala unta di padang
pasir Afrika lebih baik dari menggembala babi di Castilla.
Al-Mutamid bin Ubbad adalah raja terakhir Bani
Ubbad. Ia orang Arab penyair. Hanya saja , ia takluk di hadapan Alfonso, di
mana ia membayar hadiah kepadanya sebagaimana raja lain. Hingga suartu hari
Alfonso memohon izin kepadanya agar memperbolehkan istri Alfonso untuk
melahirkan bayi di Masjid Jami’ Cordova berdasarkan fatwa seorang pendeta.
Tentu saja hal ini membuat Ibnu Ubbad tidak bisa menahan emosinya, ia langsung
membunuh pembawa surat itu karena tidak memiliki rasa malu. Ia memerintahkan
agar tubuhnya di salib terbalik di Cordova. Ia juga menitahkan agar semua
pasukan tawanan yang mengiringinya turut di bunuh.
Kabar pembunuhan ini sampai ke Alfonso. Ia pun
bersumpah akan menyerang Sevilla. Untuk itu, ia mempersiapkan dua pasukan
tentara, satu pasukan bergerak ke Toledo lalu Sevilla, dan pasukan lain di
pimpin oleh Alfonso. Kemudian pasukannya bertemu dengan pasukan pertama.
Alfonso bersama kedua pasukannya singgah bersama di depan istana Ibnu Ubbad di
seberang tepi sungai Guadalquivir. Lantas Alfonso menulis surat kepada Ibnu
Ubbad berisi olok-olok, Semakin lama aku diam di tempatku, semakin banyak lalat
dan panas begitu menyengatku. Karena itu, persembahkanlah untuku kipas angin
dari istanamu untuk mengipasi diriku dan mengusir lalat dari mukaku. Ibnu Ubbad
menjawab surat ini dengan tulisannya langsung, Aku sudah membaca suratmu dan
memahami keangkuhan dan kesombonganmu. Aku akan memperlihatkan kepadamu
kipas-kipas angin dari kulit bangsa Lumthiyah, sehingga aku bisa tenang dan
kamu merasakan kegerahan. Ibnu Ubbad memberi isyarat dengan kulit-kulit
Lumthiyah artinya memohon bantuan kepada Murabithun di Afrika Utara. Para
fuqaha menghalalkan sumpah ibnu Tasyifin untuk tidak menggabungkan Andalusia ke
kerajaanya. Bahkan mereka menambahkan fatwanya yang mengharuskan ibnu Tasyifin
melakukannya demi meraih keridhaan Allah agar kaum Muslimin terbebas dari
kejahatan para raja. Selanjutnya dating fatwa dari Timur yang memperkuat fatwa
fuqaha Andalusia. Semua fatwa ini mendorong Yusuf bin Tasyifin, seorang Arab
Badui yang beriman, yang belum tercemar kemewahan, untuk masuk kembali ke
Andalusia dalam rangka mengembalikan persatuannya. Kemudian melalui
eksepedisinya pada tahun ( 430 H/ 1847 M) di Granada dan berlangsung hingga
tahun ( 495 H/ 1182 M). dalam waktu itu ia berhasil menumbangkan kekuasaan para
raja, termasuk Ibnu Ubbad yang meminta bantuan Alfonso VI untuk melawan seri
bin Abi Bakar, pegawai Ibnu Tasyifin dengan demikian Andalusia menjadi bagian
dari kerajaan Murabithun di Afrika.
Tak lama kemudian pecah pemberontakan sengit di
Afrika untuk menumpas Al-Murabithun. Tentu saja hal ini mempengaruhi kondisi
mereka di Andalusia. Akhirnya Andalusia kembali ke kebiasaan lama dan terpecah-pecah
dalam bentuk lebih besar lagi, sehingga jumlah raja-raja di Andalusia sama
dengan jumlah kota-kotanya.
C.
Kemajuan dan Kemunduran peradaban Islam di Andalusia
Tak
dapat dipungkiri bahwa Islam memainkan peranan yang penting di Spanyol selama
sekitar delapan abad. Di Spanyol, Bangsa Arab memperoleh kemenangan paling
besar dan paling lama di Eropa walaupun juga penderitaan yang dramatis terjadi
di sana (Lewis, 1988: 122; Al Siba’i, 1987: 33). Sejarah panjang yang dilewati
umat Islam Spanyol menurut Hamka (1994: 293-294) terbagi dalam tiga masa saja,
yaitu masa saat diperintah oleh wakil khalifah dari Damaskus, masa diperintah
oleh para amir, dan masa dipimpin oleh seorang khalifah. Namun menurut Badri
Yatim (1994: 92), masa Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode
sebagai berikut.
1.
Periode Pertama (711-755 M)
Spanyol
berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah
yang berpusat di Damaskus. Stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai
secara sempurna karena banyak gangguan baik gangguan internal maupun eksternal.
Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan dan pertengkaran di
kalangan para elit penguasa, terutama akibat perbedaan suku dan golongan.
Begitu pula terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan
Gubernur Afrika Utara yang berpusat di Qairawan yang masing-masing mengaku
paling berhak atas daerah Spanyol. Konsekuensinya, terjadilah dua puluh kali
pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat singkat.
Perbedaan
pandangan politik itu menyebabkan seringnya terjadi perang saudara, antara
Barbar asal Afrika Utara dan Arab. Etnis Arab sendiri terdiri dari dua golongan
yang selalu bersaing, yaitu suku Qaisy (Arab Utara) dan Arab Yaman (Arab
Selatan). Perbedaan etnis ini tak jarang menyebabkan konflik politik terutama
ketika ada figur yang kuat dan tangguh. Wajarlah jika di Spanyol pada saat itu
tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya dalam jangka waktu
yang agak lama. Gangguan dari luar muncul dari “mantan” musuh Islam di Spanyol
yang bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak pernah
loyal kepada pemerintahan Islam. Mereka sangat benci Islam dan terus menyusun
kekuatan. Sebagai hasilnya, mereka mampu mengusir Islam dari bumi Andalus walau
harus berjuang lebih dari 500 tahun. Dengan banyaknya konflik internal dan
eksternal, maka dalam periode ini Islam Spanyol belum memasuki kegiatan
pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Datangnya Abd al Rahman al
Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H/755M menjadi tanda berakhirnya periode
pertama (Yatim,1994: 94).
2.
Periode Kedua (755-912 M)
Pada masa ini, Spanyol diperintah oleh seorang amir (panglima atau
gubernur) tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan yang ketika itu
dipegang oleh Khalifah Abbasiyah di Bagdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I
yang memasuki Spanyol tahun 138 H/755M dan diberi gelar al Dakhil (yang
masuk ke Spanyol). Abdurrahman al Dakhil adalah keturunan Bani Umayyah yang
berhasil melarikan diri dan lolos dari kejaran Bani Abbasiyah yang telah
menaklukkan Bani Umayyah di Damaskus. Abdurrahman melakukan pengembaraan ke
Palestina, Mesir, dan Afrika Utara, hingga akhirnya tiba di Cheuta. Di wilayah
ini, ia memperoleh bantuan dari Bangsa Barbar dalam menyusun kekuatan militer.
Selanjutnya, ia sukses mendirikan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Pemerintah
setelah Abdurrahman al Dakhil adalah Hisyam I, Hakam I, Abd al Rahman al
Ausath, Muhammad Ibnu Abd al Rahman, Munzir Ibnu Muhammad, dan Abdullah Ibnu
Muhammad (Ali, 1996: 302-312). Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai
memperoleh banyak kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang
peradaban. Abd Rahman al Dakhil mendirikan masjid Kordova dan sekolah-sekolah
di kota-kota besar Spanyol. Hisyam I dikenal berjasa sebagai pembaharu dalam
kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Ia juga orang
pertama yang menjadikan Madzhab Maliki sebagai Madzhab resmi negara. Adapun
Abd. Al Rahman al Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Pemikiran
filsafat mulai masuk, terutama di zaman Abdurrahman al Ausath, yang mengundang
para ahli dari dunia Islam lainnya untuk datang ke Spanyol. Akhirnya, kegiatan
ilmu pengetahuan di Spanyol kian berkembang. Gangguan politik serius yang
terjadi pada periode ini justru datang dari umat Islam sendiri. Golongan
pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung
selama 80 tahun. Di samping itu, sejumlah orang yang tak puas menuntut
terjadinya revolusi. Pemberontakan yang dipimpin oleh Hafsun dan anaknya, Umar,
yang berpusat di pegunungan dekat Malaga merupakan yang gangguan penting.
Selain itu, perselisihan antara orang-orang Barbar dan orang Arab masih
seringkali terjadi (Yatim, 1994: 96).
3.
Periode Ketiga (912-1013 M)
Pemerintahan
Abd Rahman III yang bergelar al Nasir li dinillah (penegak agama Allah)
sampai munculnya raja-raja kelompok (kecil) yang dikenal dengan Muluk al
Thawaif masuk dalam periode ketiga. Pada periode ini, Spanyol diperintah
oleh penguasa yang bergelar Khalifah. Dengan demikian, pada masa ini terdapat
dua khalifah sunni di dunia Islam, Khalifah Abbasiyah di Bagdad dan Khalifah
Umayyah di Spanyol, di samping seorang khalifah Syi’ah Fatimiyyah di Afrika
Utara (Ali, 1996: 308). Pemakaian gelar khalifah tersebut bermula dari berita
bahwa al Muqtadir, khalifah daulat Bani Abbasiyah Bagdad, tewas dibunuh oleh
pengawalnya sendiri. Menurut penilaiannya, keadaan ini menunjukkan bahwa
suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam ketidakpastian. Oleh sebab
itu, momen tersebut dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memakai gelar
khalifah yang telah dirampas dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih
(Yatim, 1994: 96). Gelar ini resmi dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah
besar yang memerintah pada periode ketiga ini ada tiga orang, yaitu Abd Rahman
al Nasir (912-961), Hakam II (961-976), dan Hisyam II (976-1009 M). Pada
periode ini, umat Islam Spanyol berhasil mencapai puncak kemajuan dan
kejayaannya. Hal ini dapat disejajarkan dengan kejayaan daulat Abbasiyah di
Bagdad. Abd Rahman III merupakan penguasa Umayyah terbesar di Spanyol. Seluruh
gerakan pengacau dan konflik politik dapat diselesaikan sehingga situasi negara
relatif aman. Penaklukan kota Elvira, Jain, dan Seville merupakan sebagian
bukti keberhasilan Abd. Rahman III dan kekuatan Kristen juga dipaksa menyerah
kepadanya. Setelah sukses mengatasi problem politik dalam negeri, ia juga
berhasil menggagalkan cita-cita Daulah Fatimiyyah untuk memperluas wilayah
kekuasaannya ke negeri Spanyol.
Di bawah
pemerintahan Khalifah Abd Rahman III, Spanyol mengalami kemajuan peradaban yang
menggembirakan, terlebih di bidang Arsitektur. Tercatat tidak kurang dari 300
masjid, 100 istana megah, 13.000 gedung, dan 300 tempat pemandian umum berada
di Cordova. Kemasyhurannya sebagai penguasa dikenal sampai di negeri
Konstantinopel, Jerman, Perancis, hingga Itali. Bahkan, penguasa negeri-negeri
tersebut mengirim para dutanya ke Istana Khalifah. Armada laut yang dibentuk
berhasil menguasai jalur lautan tengah bersama dengan armada Fatimiyyah.
Kebesaran Abd Rahman III dapat disejajarkan dengan Raja Akbar dari India, Umar
bin Khattab, dan Harun al Rasyid. Jadi, Abdurrahman III bukan hanya sebagai
penguasa terbaik Spanyol, melainkan juga salah satu penguasa terbaik dunia
(Ali,1996:309). Sayangnya, tidak semua tokoh sejarah mengetahui hal ini
(Husain,1996: 1). Penguasa setelah Abd Rahman II adalah Hakam II, yang
merupakan seorang kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Koleksi dalam
perpustakaannya tidak kurang dari 400.000 buku. Pada masa ini, masyarakat dapat
menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Pembangunan kota pun berlangsung cepat.
Selanjutnya, Hisyam II naik tahta dalam usia sebelas tahun merupakan awal
kehancuran khilafah Bani Umayyah di Spanyol. Oleh karena itu, kekuasaan de
facto berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M. Khalifah menunjuk
Ibnu Abi Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang
ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan
Islam dengan menyingkirkan rekan dan saingannya. Atas keberhasilannya, ia
mendapat gelar al Mansur billah. Ia wafat pada tahun 1002 M dan
digantikan oleh anaknya al Muzaffar yang masih dapat mempertahankan keunggulan
kerajaan. Akan tetapi, setelah ia wafat pada tahun 1008 M, ia digantikan oleh
adiknya yang tidak memiliki kualifikasi untuk jabatan itu. Akhirnya pada tahun
1013 M, dewan menteri yang memerintah Cordova menghapus jabatan khalifah.
Ketika itu Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang
berpusat di kota-kota tertentu (Watt, 1995: 218).
4.
Periode keempat (1013-1086 M)
Pada
periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negeri kecil di
bawah pemerintahan raja-raja golongan atau al Muluk al Thawaif, yang
antara lain berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, dan Toledo
(Bosworth, 1993: 35-40). Pemerintahan terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di
Seville. Pada periode ini, umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian
internal. Sayangnya, jika terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak
yang bertikai itu, ada pihak-pihak tertentu yang meminta bantuan kepada
raja-raja Kristen. Karena menyaksikan kekacauan dan kelemahan yang menimpa
keadaan politik Islam, maka orang-orang Kristen pada periode ini mulai
mengambil inisiatif penyerangan untuk pertama kalinya. Akibat fatalnya,
kekuatan Islam diketahui mulai menurun dan tiba saatnya untuk dihancurkan
(Yatim,1994:96).
5.
Periode kelima (1086-1248 M)
Walaupun
terpecah dalam beberapa negara, pada periode kelima ini, Spanyol Islam masih
mempunyai suatu kekuatan yang dominan, yaitu dinasti Murabithun (1086-1143
M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235M). Dinasti Murabithun pada mulanya
adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf Ibnu Tasyfin di Afrika
Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat
di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas undangan penguasa-penguasa Islam di sana
yang tengah berjuang mempertahankan negerinya dari serangan kaum Nasrani. Ia
dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan
pasukan Castilia. Perpecahan di kalangan raja-raja Muslim menyebabkan Yusuf
bergerak lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia pun berhasil. Kesuksesan ini
ternyata tidak dapat diteruskan oleh penguasa-penguasa sesudahnya karena mereka
adalah raja-raja yang lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti Murabithun
baik di Afrika Utara maupun di Spanyol berakhir. Dinasti Muwahhidun muncul
sebagai gantinya. Tahun 1146 M penguasa
Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut Spanyol. Muwahhidun didirikan
oleh Muhammad Ibnu Tumart (w. 1128). Ia adalah seorang cerdas, tangkas, dan tak
segan-segan mempunyai pemikiran berseberangan. Ia adalah murid Qadi Ibnu Hamdin
(Urvoy, 1991: 11). Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd al
Munim. Antara tahun 1114 dan 1154 M, kota-kota Muslim penting, Cordova,
Almeria, dan Granada, jatuh ke bawah kekuasaannya. Untuk jangka beberapa
dekade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan terutama saat pemerintahan
dipegang oleh Abu Yusuf al Mansur. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul
mundur. Akan tetapi tidak lama kemudian, dinasti Muwahhidun mengalami
keruntuhan. Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di
Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan
penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara
tahun 1235 M. keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah penguasa-penguasa
kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari
serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun 1238 M, Cordova jatuh ke
tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh pada tahun 1248 M. Akhirnya, kecuali
Granada, seluruh wilayah Spanyol telah lepas dari kekuasaan Islam (Yatim, 1994:
99).
6.
Periode keenam (1248-1492 M)
Kerajaan
Granada merupakan pertahanan terakhir Muslim Spanyol di bawah kekuasaan dinasti
Bani Ahmar (1232-1492 M). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman
Abdurrahman al Nasir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa
di wilayah yang kecil. Persekutuan antara wilayah Aragon dan Castille melalui
perkawinan Ferdinand dan Isabella melahirkan kekuatan besar untuk merebut
kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol (Tim, 1994: 175). Namun beberapa kali
serangan mereka belum berhasil menembus pertahanan umat Islam. Abu Hasan yang
menjabat pada waktu itu mampu mematahkan serangan tersebut. Bahkan ia menolak
membayar upeti kepada pemerintahan Castille. Abu Hasan dalam suatu serangan
berhasil menduduki kota Zahra.
Untuk membalas dendam, Ferdinand melancarkan serangan mendadak
terhadap al Hamra dan berhasil merebutnya. Banyak wanita dan anak kecil yang
berlindung di sana dibantai oleh pasukan Ferdinand. Jatuhnya al Hamra ini
merupakan pertanda kejatuhan pemerintahan Granada. Situasi pemerintahan pusat
di Granada semakin kritis dengan terjadinya beberapa kali perselisihan dan
perebutan kekuasaan antara Abul Hasan dengan anaknya yang bernama Abu Abdullah.
Serangan pasukan Kristen yang berusaha memanfaatkan situasi ini dapat
dipatahkan oleh Zaghal, saudara Abul Hasan. Zaghal menggantikan Abul Hasan
sebagai penguasa Granada. Zaghal berusaha mengajak Abu Abdullah menggabungkan
kekuatan dalam menghadapi musuh. Tapi ajakan itu ditolaknya. Ketika terjadi
pergolakan politik antara Zaghal dan Abu Abdullah, pasukan Kristen melakukan
penyerbuan dan berhasil menguasai Alora, Kasr Bonela, Ronda, Malaga, dan Loxa.
Pada serangan berikutnya, Zaghal menyerah dan melarikan diri ke Afrika Utara.
Satu-satunya kekuatan Muslim berada di kota Granada dipimpin oleh Abu Abdullah
yang kemudian dihancurkan oleh Ferdinand. Abu Abdullah dipaksa menyampaikan
sumpah setia kepada Ferdinand dan bersedia melepaskan harta kekayaan ummat
Islam sebagai imbalan dari diberikannya hak hidup dan kebebasan beragama bagi
orang Islam. Peralihan kekuasaan yang menyedihkan itu terjadi pada tanggal 3
Januari 1492M (Ali, 1996: 315; Yatim, 1994: 99-100). Dengan demikian,
berakhirlah kekuasan Islam di Spanyol. Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada
dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol. Akibatnya, pada
tahun 1609 M, dapat dikatakan tidak ada lagi umat Islam yang hidup di daerah
ini.
Ketika terjadi demonstrasi menuntut pengembalian Andalusia dari
tangan kaum muslimin, mereka berhasil mendapatkannya dan dengan demikian
Andalusia telah jatuh secara mutlak ke tangan orang-orang Al-Qasytalah
(Castilla) dan Al-Arguni (Aragon). Mereka juga berhasil merampas perpustakaan
Arab yang besar yang merupakan harta kekayaan termahal di dunia dalam bidang
ilmu pengetahuan dan pemikiran. Pada saat Toledo jatuh ke tangan Alfonso VI,
Raja Castilla, tahun 1085 Masehi, para perampok Spanyol itu menjual
perpustakaannya dengan koleksi bukunya yang berjumlah 500.000 jilid kepada Para
pelancong. Kemudian pada saat jatuhnya Qordova tahun 1236 Masehi, perbuatan
biadab ini terulang kembali. Perpustakaan Qordava dengan jumlah bukunya 440.000
jilid juga dijual. Demikian juga pada saat jatuhnya kota Gharnathah (Granada)
tahun 1.492 Masehi, perpustakaan Granada dengan 500.000 koleksibukunya dijual.
Bagaimana Pun para perampok dan penjajah Castilla dan Aragon adalah orang-orang
bodoh dan tidak memperhatikan nilai dari buku-buku itu selain dari harganya
setelah dijual. Para penjual bukubuku itu kemudian membawanya di atas unta
mereka untuk dijual kepada oranS-orang yangberani membayar dengan harga mahal.
Konon, orang-orang Eropa yang berada di wilayah sekitar Prancis, Itali, dan
|erman termasuk orang yang merindukan ilmu pengetahuan Arab dan kebudayaannya.
Maka wajar kalau mereka memburu buku-buku itu dan membelinya dari penjualnya.
Mereka kemudian mempelaiarinya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa latin dan
berbagai bahasa Eropa lainnya.
D.
Kontribusi Islam di Andalusia terhadap Kemajuan Eropa
Eksistensi Andalusia di dunia mendapat perhatian penuh dari
berbagai kalangan masyarakat dunia. Selama tujuh abad kekuasaan Islam di
Andalusia memiliki banyak pengaruh yang besar terhadap dunia Islam maupun dunia
Eropa. Eropa yang saat itu sedang mengalami dark age seakan mendapat
cahaya hidayah dari Andalusia. Beragam prestasi pun banyak ditorehkan saat itu,
terlihat dari beberapa sektor yang mempengaruhi keadaan Eropa seperti:
Para ilmuwan Arab dan Islam menyebar ke kepulauan Iberia (Spanyol dan
Portugal), Perancis Barat, beberapa kepulauan terdekat dan beberapa kepulauan
di daerah Barat Tengah lainnya yang telah dikuasai oleh bangsa Arab baik dalam
jangka waktu yang lama maupun singkat. Bangsa Arab juga pernah tinggal di
daerah bagian Italia dan Swiss, sekalipun hanya sementara. Pergaulan
orang-orang Arab yang baik kepada orang-orang Eropa telah membangkitkan
kekaguman mereka sehingga timbul keinginan untuk mempelajari peradaban bangsa
Arab, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pola hidupnya. Dari sinilah, orang-orang
Eropa mulai meniru orang-orang Arab dalam hal-hal yang mungkin dapat mereka
tiru.
Bahkan seperti di Andalusia, mereka belajar bahasa Arab dan secara
bertahap mendalami ilmu pengetahuan bangsa Arab, sekalipun mereka beragama
Kristen. Para pecinta ilmu dari berbagai penjuru Eropa Barat lalu berdatangan
ke Andalusia, seperti Itali, Perancis, Swiss, Jerman, dan kepulauan Inggris.
Mereka kemudian mulai mendalami ilmu-ilmu pengetahuan dan kebudayaan bangsa
Arab, lalu menyebarkan unsur-unsur peradaban Arab dan Islam ke berbagai penjuru
di Eropa. Pada saat itulah di Eropa mulai didirikan lembaga pusat terjemah
untuk menerjemahkan warisan pemikiran dan keilmuan bangsa Arab dan Islam ke
dalam bahasa Latin, yaitu bahasa ilmu pengetahuan dan agama di Eropa pada masa
itu.
Di samping, sebagai bahasa pengantar orangorang Eropa antara satu
dengan lainnya, sama seperti bahasa Arab resmi sekarang. Di antara lembaga
Pusat terjemah tersebut adalah:
a.
Universitas
Qordova
Lembaga terjemah di universitas ini terdapat di Masiid Agung
Qordova. Di Universitas inilah orang-orang Eropa belajar ilmu, di antaranya
seperti yang dikatakan oleh banyak saksi mata adalah Uskup Vatikan, Silvaster
II. Di universitas ini secara besar-besar berlangsung Penerjemahan buku-buku
Arab ke bahasa Latin, dan dari sinilah pemikiran ilmuwan besar seperti Ibnu
Rusyd dipindahkan ke Eropa.
b.
Sekolah
Thulaithulah (Toledo)
Sekolah ini didirikan di kota Thulaithulah (Toledo), yaitu
sebuah kota penting di negara Spanyol dan merupakan ibukotanya sebelum
ditaklukkan oleh Islam. Di antara tokoh terkemuka dari sekolah ini yang telah
menerjemahkan manuskrip-manuskrip berbahasa Arab ke bahasa Latin adalah
Dominggo Guan De Silva dan irar Gherardo de Cremona yang berkebangsaan Itali,
serta Ibnu Daud yang berkebangsaan Yahudi dan dikenal dengan nama Don Khuwan.
c.
Sekolah
Salerno
Sekolah ini merupakan sekolah ilmu kedokteran yang didirikan oleh
Raja Sisilia, An-Nurmani, dan pembela kebudayaan Arab, Roger II. Adapun guru-guru
yang mengajar di sekolah ini adalah para Ilmuwan muslim dan Yahudi. Di antara
tokoh terkemuka dari sekolah ini adalah Qastantin Al-Afriqi yang berasal dari
keturunan Arab dan Machael Scot dari Skotlandia yang merupakan mediator antara
Sekolah Toledo dan Sekolah Sa1erno. (Sebagai catatan: Sekolah Salerno terletak
di kota Salerno di Teluk Salerno atau di Barat Daya Itali)
2.
Kedokteran
Bangsa Eropa telah banyak belajar ilmu-ilmu kedokteran Islam.
Bahkan banyak para dokter muslim yang mengajar mahasiswa asal Eropa di
Andalusia, Sisilia, dan di sekolah Salerno yang didirikan di kota Salerno di
dekat pantai Barat Daya Itali. Sekolah ini merupakan sumber ilmu kedokteran
Islam di tanah Eropa. Lusian Leclere menghitung bahwa sebanyak tiga ratus buku
kedokteran Arab telah diterjemah ke dalambahasa Latin oleh orang-orang Eropa.
Tentang kemajuan peradaban Arab dan Islam dalam bidang kedokteran, seorang
penulis Inggris bernama Hubert Byrd mengatakan, "Sejak seribu tahun atau
lebih, bangsa Arab telah menjadi penunjuk jalan dan pelopor dalam riset ilmiah,
terutama di bidang kedokteran. Mereka adalah satu-satunya bangsa yang
mengetahui pentingnya rumah sakit dan menganjurkan keberadaannya di berbagai
tempat pada masa itu. Rumah sakit dalam makna yanq sebenarnya juga merupakan
pusat ilmu dan riset ilmiah, dipimpin oleh para pakar spesialis dan dipelajari oleh
mahasiswa yang tekun.
Ar-Razi menempati posisi puncak, sebagaimana dikatakan oleh para
orientalis dan orang yang berkecimpung dalam sejarah kedokteran dengan
menobatkannya sebagai dokter terbesar yang dilahirkan oleh kebangkitan ilmu
pengetahuan Islam. Sedangkan dokter atrli bedah kebanggaan Arab, Abu Al-Qasim
Khalaf bin Abbas Az-Zalrawi lahir di Az-Zal:ua' yang merupakan bagian wilayah
Cordova di Andalusia pada tahun 325 H (936 M) dan meninggal pada tahun 404H
Sebagaimana yang diceritakan bahwasanya seorang tabib bernama
Al-Harani datang dari wilayah Timur menuju Andalusia dengan membawa obat
penangkal sakit perut yang diramunya dalam dosis yang tepat. Ketika beberapa
temannya mencoba untuk meramu obat tersebut setelah mereka mencicipinya
terlebih dahulu dengan satu kali tegukarL mereka kemudian memberitahukan kepada
Al-Harani tentang bahan-bahan yang terkandung di dalamnya sekaligus takarannya,
Al-Harani berkata, "Kalian sudah benar dalam masalah bahan-bahary namun
kalian salah dalam masalah takaran.”
3.
Teknologi
Perang
Kaum muslimin juga dianggap unggul dalam mengolah teknologi barang
tambang serta dalam industri besi dan baja yang membuat mereka terkenal dalam
membuat pedang dan peralatan perang. Ketika mereka telah mengetahui rahasia
yang ada pada bubuk senjata yang ditemukan oleh bangsa Cina, mereka membuat
meriam dan memakainya dalam perang di Andalusia. Sedangkan bangsa Eropa mengira
bahwa meriam itu digerakkan oleh setan.
Ada pula pengakuan ahli sejarah, Veiridot yang menjelaskan dalam
bukunya "Pemandangan Umum tentang Akhlak bangsa Arab di Andalusia pada
abad kedua puluh," bahwa kaum muslimin di Andalusia pada masa Raja
Al-Manshur bin Abi Amir telah membuat pengelompokan tentara menjadi pasukan
berkuda, lalu membuat peraturan-peraturan yang ditiru oleh pasukan berkuda
Eropa. Seorang ahli sejarah berkebangsaan Spanyol, Renauld of Cordova,
menegaskan bahwa dasardasar pengelompokan tentara menjadi pasukan berkuda,
keberanian, menjaga kehormatan, bersikap lembut kepada wanita dan menunjukkan
penghormatan kepadanya, serta bersikap baik kepada para tawanan merupakan
akhlak dan prilaku yang bersifat umum pada masa pemerintahan Raja Al-Manshur.
4.
Pertanian
dan Peternakan
Pertanian dan Peternakan Hewan Kaum muslimin banyak memasukkan
berbagai hasil pertanian dan buah-buahan yang belum dikenal oleh bangsa Eropa
yang telah mereka dapatkan dari semua penjuru dunia di masa lampau. Di
Andalusia, kaum muslimin berhasil mengembangkan pola tanam dan sistem irigasi
secara besar-besaran. Mereka merubah kepulauan Iberia (Spanyol dan Portugal)
menjadi surga yang hijau dan teduh karena kebun-kebunnya dipenuhi dengan pohon
dan tanaman hias dari berbagai jenis. Dari Andalusia inilah tersebar
taman-taman dan bunga-bunga ke seluruh Eropa Barat. Suatu kenyataan yang memang
dapat kita lihat pada masa sekarang dan tidak kita temukan di Eropa Timur,
sekalipun usia peradaban mereka tebih tua dari pada Eropa Barat yang masih
terendam dalam lumpur dan kebodohan hingga datang kaum muslimin. Kaum muslimin
memiliki banyak karya tulis yang sangat penting dalam bidang pertanian dan
telah diambil oleh bangsa Eropa sehingga turut memberikan kontribusi bagi
kebangkitan dunia pertanian di Eropa.
5.
Tata
Kota
Pada bangunan dan perencanaan penataan kota Bangsa Eropa merasa
bangga dengan kebesaran kota Qordova sebagai pusat pemerintahan Umawiyah di
Andalusia yang merupakan kota terbesar di Eropa pada abad kesepuluh Masehi
hingga tidak dapat dibandingkan dengan kota-kota Eropa lainnya, termasuk
Konstantinopel yang merupakan ibukota Imperium Bizantium.
Untuk menjelaskan kebesaran Qordova, kita cukup membandingkan bahwa
jalan-jalan di kota Qordova telah dihiasi dan diterangi pada saat jalan-jalan
di kota-kota Eropa lainnya penuh dengan kotoran. ]alan-jalan di Qordova
dibekali dengan jaringan saluran air tawar dan jaringan pelayanan kesehatan,
pada saat kota-kota di Eropa mengalami keterbelakangan dan dipenuhi bau pesing,
kotoran manusia dibuang di tengah jalan, yang justru menambah buruk pemandangan
kota.
Bangsa Eropa telah belajar tekhnik perencanaan dan penataan kota-kota
Islam, dan mereka meniru bangunan Is1am. Rumah-rumah di Eropa terpengaruh oleh
gaya dan arsitektur rumah Arab yang memiliki halaman dalam. Dari halaman dalam
inilah rumah dapat dibuka tanpa harus membuka bagian luarnya secara langsung.
Demikian juga dengan penataan letak jendela yang membuat rumah
orang muslim mendapatkan cukup cahaya dan udara tanpa kelihatan oleh
orang-orang yang melintas di luar rumah. Selain dari itu, banyak dipergunakan
cat warna putih pada rumah. Pengaruh ini telah menyebar di Amerika Utara dan
Selatan bersamaan dengan datangnya orang-orang Spanyol ke Amerika, hingga saat
ini banyak kita jumpai kemiripan antara rumah orang muslim di Andalusia dengan
rumah-rumah lama di wilayah Florida Amerika yang telah dibangun oleh orang-orang
Spanyol, dan rumah-rumah perkampungan di Meksiko. Akibat pengaruh kebudayaan
Arab yang menyeluruh pada berbagai aspek kehidupan, orang-orang Eropa belajar
cara menanam pohon, tumbuh-tumbuhan, dan tanaman hias di halaman rumah mereka
yang pada saat sekarang dikenal dengan sebutan taman rumah. Bangsa Arab memang
bukan yang pertama kali membuat taman di rumah, akan tetapi mereka sangat
memperhatikan dan dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan.
Bangsa Eropa telah meniru perhatian seperti ini sehingga menjadi tradisi di
kalangan mereka.
6.
Kebersihan
Dalam menjaga kebersihan dan pendirian toilet umum: Untuk pertama
kalinya, etika hidup bersih menjadi prilaku masyarakat dalam peradaban Islam.
Orang muslim memperhatikan mandi, kebersihan, dan wudhu' sebagai perintah dari
hukum agamanya. Prilaku hidup bersih ini telah menjadi tradisihingga menjadi
salah satu dari ciri-ciri mereka. Bahkan orang-orang miskin di Andalusia tetap
mempergunakan uang terakhir yang dimitikinya untuk membeli sabun agar ia dapat
pergi ke masjid dan tempat-tempat umum dalam keadaan bersih dan berpenampilan
baik. Ia tidak perduli apakah setelah itu ia harus tidur di atas tikar.
Pemerintahan Islam kemudian memperhatikan perlunya mendirikan toilettoilet umum
dan menyebarkannya di seluruh penjuru kota-kota Islam, sehingga menjadi
fenomena kehidupan sehari-hari umat Islam.
7.
Cara
Makan
Dalam tata cara makan, Orang Eropa belajar dari kaum muslimin seni
memasak dan tata cara yang berhubungan dengan penyajian makanan, seperti
giliran penyajian makanan yang diakhiri dengan memakan roti atau buah-buahan.
Demikian juga dengan penyajian makanan kepada orang terhormat yang menggunakan
Barpu, pisau, dan sendok sebagai ganti dari makan dengan tangan. Cara makan
seperti ini sebenarnya didapatkan oleh orang Arab dari peradaban Persia yang
merupakan peradaban termaju pada masanya. Akan tetapi mereka mengembangkannya
sesuai dengan cara-cara yang Islami dan apa yang seharusnya dilakukan dalam
menghormati tamu. Tradisi ini berpindah ke Eropa secara besar-besaran melalui
gaya hidup seorang penyanyi Arab bernama Zaryab ketika ia pindah dari Baghdad
ke Andalusia dengan membawa kebiasaan orang Persia dan nilai-nilai tradisi
Dinasti Abbasiyyah serta selera makannya yang tinggi. Ia berhasil membuat
perubahan yang besar dalam kehidupan sehari-harinya seperti cara berpakaian,
berpenampilan, dan penataan perabot rumah serta tradisi-tradisi yang
berhubungan dengan pola makan. Di antaranya dengan mengganti tempat minuman
yang semula menggunakan emas dan perak di rumah para bangsawan dengan
menggunakan gelas kaca. Cara hidup seperti ini tetap bertahan di Andalusia dan
kemudian berpindah ke rumah para bangsawaru lalu menyeluruh ke seluruh lapisan
masyarakat Eropa.
8.
Cara
Berpakaian
Mahasiswa di universitas-universitas dunia Islam memiliki pakaian
tersendiri yang berbeda dari seragam kamptts lainnya dan dari tahun ke tahun.
Para dosen di universitas Islam biasa memakai thailasan (baju panjang
seperti jubah) dan kebiasaan ini kemudian ditiru oleh dosen dan mahasiswa di
Eropa sehingga mereka juga memakai seragam kampus. Topi seperti itu sampai
sekarang masih selalu dipergunakan pada acara wisuda mahasiswa. Para dosen dan
mahasiswa muslim juga biasa memakai peci, dan peci ini sangat umum pemakaiannya
di Andalusia. Orang-orang lalu menirunya dengan menambah sebagian aksesoris
pada bagian luarnya sehingga menjadi topi resmi universitas, sekalipun
pemakaiannya hanya terbatas ketika wisuda.
9.
Seni
Tenun dan Tekstil
Dalam seni tenun dan tekstil: Bangsa Arab juga unggul dalam seni
tenun seperti; menyulam, menjahit, dan membordir. Sebelumnya seni tenun seperti
ini dilakukan oleh orang Arab pedalaman, seperti macrame (bahasa Inggris) yang
berasal dari bahasa Arab "Makhramah." Sebagian seni tenun ini muncul
di Syam, Persia, atau di negara lainnya yang berperadaban. Seni tenun ini
kemudian dibawa ke Andalusia dan Sisilia. Dari kedua kota inilah seni tenun
menyebar di Eropa. Sebagaimana juga kesenian "Aubttsson" yang
terkenal di Prancis merupakan kesenian asli Andalusia yang masuk ke Prancis
bersamaan dengan datangnya penduduk migran ke Andalusia danmengungsike Prancis
karena lari dari tekanan penguasa pada saat itu. Kesenian ini kemudian mencapai
puncak kemajuannya di Prancis dan menjadi terkenal.
Basya, Ahmad Fuad. 2015. Sumbangan Keilmuan
Islam Pada Dunia. Jakarta: Pustaka Al-kautsar. hlm. 50-51
Gharib Gaudah, M. 2012. 147 Ilmuan
Terkemuka Dalam Sejarah Islam. Terjemahan Mas Rida Muhyidin. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar. hlm. 16-19
Basya, Ahmad Fuad. 2015. Sumbangan Keilmuan
Islam Pada Dunia. Jakarta: Pustaka Al-kautsar. hlm. 379
Gharib Gaudah, M. 2012. 147 Ilmuan
Terkemuka Dalam Sejarah Islam. Terjemahan Mas Rida Muhyidin. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar . hlm. 48