A. Pengertian Tasawuf
Dalam relitanya Tasawuf memiliki banyak sekali pengertian, bahkan
ada yang menyebutkan ada seribu pengertian. Terlepas dari hal tersebut, ada
beberapa pengertian yang cukup komprehensif.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Tasawuf ialah ajaran
untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan
langsung secara sadar dengan-Nya.[1]
Secara
lughawi etimologis (kebahasaan) sebagian ada yang
berpendapat kata tasawuf atau sufi
diambil dari kata shaff, yang berarti saf atau baris. Dikatakan
demikian, karena sufi sefalu berada pada baris pertama dalam shalat. Ada juga
yang mengatakan berasal dari kata shafa yang berarti bersih. Karena
hatinya selalu dihadapkan ke hadirat Allah Swt., dan bentuk Jama' (plural)-nya
adalah shaffi, bukan shufi
Ada lagi yang mengatakan, berasal dari kata shujfah atau shujfat
al-masjid, serambi masjid. Tempat ini didiami oleh para sahabat Nabi yang
tidak punya tempat tinggal. Mereka selalu berdakwah dan berjihad demi Allah semata.
[2]
Dikatakan sufi, karena senantiasa menunjukkan
perilaku sebagaimana para sahabat pada masa Nabi Saw. tersebut. Di samping itu,
masih ada lagi yang berpendapat, bahwa kata sufi merupakan kata jadian
dari shuf, yang berarti bulu domba. Dikatakan demikian, karena para sufi
suka memakai pakaian kasar, tidak suka pakaian halus dan bagus, yang penting
bisa menutupi dari ketelanjangan. Ini dilakukan sebagai tanda taubat dan
kehendaknya untuk meninggalkan kehidupan duniawi.[3]
Ada lagi yang berpendapat, kata sufi berasal
dari kata sop hos (bahasa Yunani) yang berarti hikmah (kebijaksanaan).
Dikatakan demikian, karena sufi selalu menekankan kebijaksanaan. Huruf 's' pada kata sop hos itu
ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab menjadi shad dan bukan sin sebagaimana
tampak pada kata philosophi yang ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab
menjadi falsafah. Akan tetapi, dari semua istilah tasawuf yang
dikemukakan di atas, Al-Qusyairi menganggap hanya merupakan laqab (sebutan).
Oleh karena dari semua asal kata tersebut tidak ada yang cocok dari sisi
analogi atau asal-usul bahasa Arab.[4]
Menurut Syaikh Muhammad Amin
al-Kurdi bahwa tasawuf adalah ilmu yang menerangkan tentang keadaan-keadaan
jiwa (nafs) yang dengannya diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan
jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan
sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, jalan menuju Allah, dan
meninggalkan (larangan-larangan) Allah menuju (perintah-perintah) Allah SWT.[5]
Dengan
demikian tasawuf atau sufisme adalah suatu istilah yang lazim dipergunakan
untuk mistisisme dalam Islam dengan tujuan pokok memperoleh hubungan langsung
dengan Tuhan. Dalam hal ini pokokpokok ajarannya tersirat dari Nabi Muhammad
SAW yang didiskusikan dengan para sahabatnya tentang apa-apa yang diperolehnya
dari Malaikat Jibril berkenaan dengan pokok-pokok ajaran Islam yakni: iman,
islam, dan ihsan. Ketiga sendi ini diimplementasikan dalam pelaksanaan tasawuf.[6]
B.
Sumber Tasawuf
Banyak
perbedaan pendapat mengenai sumber Tasawuf ini. Ada yang menyebutkan sumber
Tasawuf itu berasal dari Yunani, Persia, Hindu, Budha, dan Kristen. Namun
tentunya jika disebutkan bahwa Tasawuf bersinggungan dengan Yunani, Persia,
Hindu, Budha dan Kristen maka bisa dikatakan benar.
RA. Nicholson dalam Syamsun Ni’am
menyebutkan "Semua pikiran yang dipandang sebagai unsur-unsur luar yang
merembes dalam kalangan kaum Muslimin ataupun hasil kebudayaan asing yang
non-Islam, sebenarnya muncul dari asketisisme maupun tasawuf yang tumbuh dalam
Islam sendiri, yang keduanya benar-benar bercorak Islam".[7]
Selain itu ada beberapa
orientalis-orientalis yang menyatakan bahwa sumber ajaran Tasawuf itu murni
dari Islam. seperti Louis Massignon dan J. Spencer Trimingham.
Sementara Trimingham dalam bukunya, The
Sufi Orders in Islam, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsun Ni’am
mengatakan:
"Tasawuf
berkembang secara wajar dalam batas-batas Islam. Sekalipun ia memang menerima
pancaran kehidupan dan pemikiran asketisisme Kristen Timur, namun para sufi itu
tidak mengadakan kontak-kecuali sedikit sekali-dengan sumber-sumber yang bukan
Islam. Bahkan, lebih-lebih lagi, suatu sistem mistis yang berkembang luas
justru telah terdapat dalam Islam. Bagaimana pun utang budinya pada
NeoPlatonisme, gnostisisme, atau mistisisme Kristen, tidak boleh tidak, kita
harus meninjaunya secara benar, seperti tinjauan para sufi sendiri, bahwa
tasawuf adalah teori batin (moral) Islam dan rahasianya justru terkandung dalam
Al-Quran'' .[8]
Maka dari itu jelaslah bahwa Sumber
ajaran Tasawuf itu berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah serta Amalan para Sahabat,
yang mana amalan para Sahabat tersebut tidak akan keluar dari runag lingkup
Qur’an Sunnah. Dari Al-Qur’an dan Sunnah inilah para sufi mendasarkan
pendapat-pendapat mereka, melakukan praktek ruhaniah mereka serta juga
latihan-latihan mistiknya.
C.
Materi Tasawuf
Dalam disiplin ilmu Tasawuf, ada beberapa hal
yang harus dipelajari dalam Tasawuf ini. Adapun materi-materi tersebut ialah :[9]
1.
Syari’at
Menurut kaum sufi Syari’ah itu kumpulan lambang
yangmemiliki makna tersembunyi. Shalat misalnya, bagi akum sufi bukanlahsekedar
sejumlah gerakan dan kata-kata, tetapi lebih dari itu merupakanpercakapan
spiritual antara makhluk dengan khaliq. Demikian juga ibadah lain
seperti hajji.
2.
Thariqot
Untuk mencapai tujuan tertentu memerlukan jalan
dan cara. Tanpa mengetahui jalannya, tentu sulit untuk mencapai maksud dan tujuan.
Hal ini dinamakan thariqat, dari segi persamaan katanya berarti “madzhab”
yang artinya “jalan”. Mengetahui adanya jalan perlu pula mengetahui “cara” melintas
jalan agar tujuan tidak tersesat.
3.
Hakikat
Hakikat dapat
didefinisikan sebagai kesaksian akan kehadiran peran serta ke-Tuhan-an dalam
setiap sisi kehidupan. Hakikat adalah kesaksian terhadap sesuatu yang
telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya serta yang disembunyikan dan ditampakkannya.
Selanjutnya dikatakan hakikat bersumber dominasi kreativitas Al-Haq.
Ismail Nawawi mengutip Ustadz Ali Ad-Daqaq bahwa surat al-Fatihah ayat 4,
”Hanya pada-Mu kami menyembah” merupakan manifestasi dari syari’at. Sedangkan
surat al-Fatihah ayat 5, ”Hanya kepada-Mu kami memohon” merupakan jelmaan
pengakuan penetapan hakikat.
4.
Ma’rifat
Kata ma’rifat berasal dari kata ‘arafa
yang artinya mengenal dan paham. Ma’rifat menggambarkan hubungan
rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari. Pengetahuan
ini diperoleh dengan kesungguhan dan usaha kerja keras, sehingga mencapai
puncak dari tujuan seorang Salik. Hal ini dicapai dengan sinar Allah,
hidayah-Nya, Qudrat dan Iradat-Nya.
5.
Maqamat
Maqamat adalah
jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam
pandangan Ath-Thusi sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar dan M. Alfatih bahwa
maqamat adalah kedudukan hamba (salik) dalam perjalanannya menuju
Allah SWT melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan (al-mujahadat),
dan latihan-latihan rohani (ar-Riyadhah).
6.
Ahwal
Yang dinamakan hal adalah apa yang
didapatkan orang tanpa dicari (hibah dari Allah SWT). Sedangkan dalam maqamat
didapatkan dengan dicari (diusahakan). Dengan kata lain hal itu bukan usaha
manusia, tetapi anugerah Allah setelah seorang berjuang dan berusaha melewati maqam
tasawuf.
7.
Takhali,
Tahali, Tajali
Takhalli ialah
membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela, kotor hati, ma’syiat lahir dan
ma’syiat batin. Pembersihan ini dalam rangka, melepaskan diri dari perangai
yang tidak baik, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Sifat-sifat
tercela ini merupakan pengganggu dan penghalang utama manusia dalam berhubungan
dengan Allah. Tahalli merupakan pengisian diri dengan sifat-sifat
terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan batin. Hati yang demikian ini
dapat menerima pancaran Nurullah dengan mudah. Oleh karenanya segala perbuatan dan tindakannya selalu berdasarkan
dengan niat yang ikhlas (suci dari riya). Dan amal ibadahnya itu tidak
lain kecuali mencari ridha Allah SWT. Untuk itulah manusia seperti ini bisa
mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Maka dari itu, Allah senantiasa
mencurahkan rahmat dan perlindungan kepadanya.
Yang dimaksud dengan Tajalli adalah
merasakan akan rasa ketuhanan yang sampai mencapai sifat muraqabah.
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa tajalli merupakan barang yang
dibukakan bagi hati seseorang tentang beberapa Nur yang datang dari
ghoib. Tajalli ada empat tingkatan, yaitu :60 tajalli af’al, tajalli
asma, tajalli sifat, dan tajalli zat.
8.
Riyadhah
Riyadhah adalah
latihan-latihan fisik dan jiwa dalam rangka melawan getaran hawa nafsu dengan
melakukan puasa, khalwat, bangun di tengah malam (qiyamullail),
berdzikir, tidak banyak bicara, dan beribadah secara terus menerus untuk
penyempurnaan diri secara konsisten. Semua kondisi puncak kebahagiaan, puncak
penderitaan, puncak kegembiraan, dan puncak kesedihan merupakan wujud dari riyadhoh.
Manusia mempersiapkan diri dengan berbagai latihan-latihan jiwa untuk kesucian batin.
9.
Muqorobah
Secara bahasa Muqarabah berarti saling
berdekatan (binammusyarakah) dari kata-kata qooraba-yuqooribu-muqoorobah.
Dalam pengertian ini, maksudnya adalah usaha-usaha seorang hamba untuk
selalu berdekatan dengan Allah SWT, yakni saling berdekatan antara hamba
dan Tuhannya.
10.
Muroqobah
Muraqabah dalam
makna harfiah berarti awas mengawasi atau saling mengawasi (dalam Ilmu Shorof
dalam kategori bina musyarokah). Secara bahasa muraqabah mengandung
makna senantiasa mengamatamati tujuan atau menantikan sesuatu dengan penuh
perhatian (mawas diri). Sedangkan menurut terminologi berarti melestarikan
pengamatan kepada Allah SWT dengan hatinya dalam arti terus menerus kesadaran seorang
hamba atas pengawasan Allah SWT terhadap semua keadaannya. Sehingga manusia
mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya dengan penuh perasaan (melekat) kepada
Allah SWT.
11.
Fana dan Baqa
Fana dalam
istilah Ilmu Tasawuf adalah suatu tingkatan pengalaman spiritual sufi yang
tertinggi menjelang ke tingkat ittihad, yakni hilangnya kesadaran
tentang dirinya dari seluruh makhluk dan hanya ditujukan kepada Allah semata,99
serta yang ada hanya Allah SWT. Sedangkan baqa adalah kekalnya
sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya
sifat-sifat Basyariyah maka yang kekal adalah sifat-sifat Ilahiyah. Fana
dan baqa datang beriringan. Ini merupakan pengalaman mistik tentang
substansi atau kehidupan bersama dengan Tuhan setelah terjadi fana dalam
diri sufi
12.
Ittihad
Ittihad merupakan
lanjutan yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana dan baqa.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu; baik substansi maupun perbuatannya.
13.
Mahabbah
mahabbahmerupakan
keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi kepada yang lain
atau ada perhatian khusus, sehingga menimbulkan usaha untuk memiliki dan
bersatu dengannya, sekalipun dengan pengorbanan. Dengan demikian dapat
dikatakan, Mahabbah adalah perasaan cinta yang mendalam secara
ruhaniah kepada Allah. Figur sufiyah tentang mahabbah ini adalah
Rabi’ah al-Adawiyah
14.
Al-Hulul
Hulul berasal
dari kata halla-yahillu-hulul, mengandung makna menempati, tinggal di,
atau bertempat di.165 Sedangkan dalam makna istilah hulul adalah
paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuhtubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat (bersemayam) di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan
15.
Wahdatul Wujud
Secara etimologi, wahdatul wujud adalah
ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat dan al-Wujud. Wahdat
artinya adalah penyatuan, satu, atau sendiri, sedangkan al-wujud artinya
ada (eksistens).
16.
Insan Kamil
Insan Kamil berasal
dari gabungan dua kata bahasa Arab, insane dan kamil. Insan berarti
manusia, kamil berarti sempurna. Jadi secara bahasa insan
kamil mengandung makna manusia sempurna (Perfect Man), yakni manusia
yang dekat (qarib dengan Allah) dan terbina potensi ruhaniahnya
sehingga dapat berfungsi secara optimal. Inilah manusia seutuhnya yang
mempunyai ketinggian derajat di hadapan Tuhannya, sehingga mencapai
tingkat kesempurnaan tauhid dan akhlak mulya.
17.
Waliyullah
Waliyullah merupakan
gabungan dari lafadz “wali” dan “Allah”. Kata “wali”
adalah bentuk mufrad (singular), sedangkan bentuk jamak-nya
(plural) adalah “awliya”. Wali Allah artinya kekasih
Allah. Jadi bentuk jamak-nya awliya Allah (para kekasih Allah).
D.
Hubungan
Tasawuf dengan Ilmu Lain
Dalam eksistensinya, Tasawuf tentu saja selalu
bersinggungan dengan ilmu lain. Ada beberapa Ilmu yang berhubungan dengan
Tasawuf, diantaranya :[10]
1.
Hubungan
Tasawuf dengan Filsafat
Tasawuf dan filsafat-sebenarnya dapat dipertemukan,
saling mengisi dan memengaruhi. Sebab, sepanjang sejarah kajian filsafat Islam
dan tasawuf, telah banyak ditemukan persinggungan dua kutub tadi-filsafat dan
tasawuf. Bentuk-bentuk hubungan tersebut misalnya dapat dilihat dari pertentangan satu sama lain, sebagaimana
tampak dalam karya-karya Al-Ghazali bersaudara, Abu Hamid, dan Ahmad. Juga
penyair sufi besar seperti Sana'i, Fariduddin Athar, dan Jalaluddin Rumi.
Kelompok sufi terakhir memang terkesan hanya memerhatikan aspek rasional dari
filsafat, dan setiap kali berbicara tentang intelek, mereka tidak mengartikan
inteleki dalam arti mutlaknya, tetapi mengacu kepada aspek rasional intelek
(akal). Athar dalam memahami filsafat juga terkesan cenderung kepada filsafat
peripatetic yang rasionalistik, dan :tnenekankan bahwa hal itu tidak boleh
dikelirukan dengan mistri ilahiah dan pengetahuan ilahiah, yang
merupakan usaha puncak pensucian jiwa di bawah bimbingan spiritual para guru
sufi. lntelek tidak sama dengan hadis Nabi dan filsafat tidak sama dengan
teosofi (hikmah) dalam makna Quraninya.
Kitab Matsnawi Rumi adalah sebuah Master
Piece filsafat. Akan tetapi, baik kelompok Al-Ghazali (Abu Hamid-Ahmad) dan
Sanii, Athar, dan Rumi, adalah sama-sama dikenal tokoh sufi par-excellent pada
masanya, bahkan dikenang hingga kini. Walaupun jalan yang ditempuhnya adalah
berbeda, puncak pencarian Tuhan, akhirnya juga berada pada titik dan tujuan
yang sama, yaitu bertemunya dengan Tuhan Yang Maha Mudak, Allah Swt.
2.
Hubungan
Tasawuf dengan Fikih
Misalnya pada pembahasan tentang shalat.
Menurut ilmu fikih, shalat hams mengikuti syarat, rukun, sah, dan
wajibnya. Jika ketentuan tersebut tidak dilakukan dengan baik, shalatnya
dianggap tidak sah. Sebaliknya, jika ketentuan-ketentuan tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik, shalatnya dianggap sah. Persoalannya adalah apakah
cukup shalat dengan hanya memenuhi syarat, rukun, sah dan tidaknya shalat
tersebut; sementara tidak dibarengi dengan suasana keruhanian mendalam akan
berhadapan dengan Tuhan? Ilmu fikih tidak akan dapat menjawabnya, dan
yang dapat menyelesaikan adalah ilmu tasawuf. Sebab, tasawuf berbicara tentang
bagaimana sesorang bisa khusyuk, ikhlas, dan cara berkomunikasi dan berkontemplasi
dengan Tuhan secara baik. Di sinilah lagi-lagi kerja sama yang baik antara ilmu
fikih dan tasawuf sangat diperlukan.
[1]
Kamus Besar Bahasa Indonesia vol. 5
[2]
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, hal. 24-25
[3]
Idem
[4]
Idem
[5]
Badrudin, Pengantar Tasawuf, hal.
1-2
[6]
Badrudin, Pengantar Tasawuf, hal.
2
[7]
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, hal. 61
[8]
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, hal. 62
[9]
Badrudinn, Pengantar Tasawuf, hal. 33-101
[10]
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, hal. 90-101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar